Menamai Dani

“Namanya harus Dani. D-A-N-I. Satu N, pakai I, bukan dobel N dan bukan pakai Y!”

Telunjuk Dina turun dari map akta kelahiran. Ganti pitamnya yang naik. Kelopak matanya berkedut cepat, seirama getaran bibirnya; marah yang bersambal berbawang merah. Idan menunduk, menyembunyikan aduk-aduk pikiran kalut dan rasa takut. Idan kalut kalau istrinya nekat ke kantor catatan sipil Padang sendirian. Idan takut kalau kutukan nama yang dibilang bapaknya jadi kenyataan.

“Sesekali nama anak kita beda kenapa sih, Din?”

“Aku sudah bilang, Dan. Nama anak-anak kita ini ajaib. Lihat. Mereka masuk Museum Rekor. Kita diliput koran di Padang. Diajak wawancara. Bakal masuk televisi. Masuk acara apalah itu namanya. Dapat duit, kita. Terkenal, kita!”

“Kalau engkau mau begitu engkau saja yang ke catatan sipil. Aku masih harus kerja, Din.”

“Dan, kau tidak kasihankah aku baru habis mela….”

“Engkau sudah empat kali, Din. Empat kali!”

“Apa bedanya dengan kamu yang sudah empat kali pindah proyek besar?”

Idan tak tahu rasanya jadi perempuan. Bersusah-susah hamil, melahirkan, lalu menguras susu dan membanting tulang-tulang terutama punggung; semua tanpa jaminan tidak kehilangan nyawa. Dina tak tahu rasanya jadi mandor. Memasang helm tanpa jaminan tidak kehilangan nyawa, bolak-balik proyek-rumah, cuma untuk menjenguk istri yang habis melahirkan keempat kalinya dan mendengar lengking suara yang sedikit-sedikit marah.

Bagi Idan: satu anak terlalu sedikit, dua anak cukup, tiga anak lumayan, empat anak mungkin agak terlalu ramai.

Bagi Dina: satu, dua, tiga anak itu kurang. Empat anak baru cukup—dua kali lipat dari yang dianjurkan pemerintah lama.

Idan tak pernah mengatur nama anak-anaknya harus bagaimana. Mereka tak mau ikut aturan adat setempat maupun aturan umum yang mana marga adalah beban yang wajib dioperkan. Berketurunan adalah perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim, lebih banyak lebih baik. Namun, tak mungkin Idan dan Dina tak awas bahwa perempuan di tempat mereka tinggal adalah penguasa di keluarga masing-masing. Ketika Idan melonggarkan tali kekang di kepang satu istrinya, nafsu penguasa Dina malah menetes-netes dari sudut bibir.

Dina sudah memutuskan. Dia akan menancapkan kukunya lewat nama anak.

 

*

 

Semua kekacauan bermula dari nama mereka sendiri.

Dina anak pasangan transmigran di Solok: suami istri konservatif dengan hidung dicucuk bilah-bilah propaganda pemerintah lama, tetapi kekurangan satu anak dari seharusnya. Bapak Dina buruh tambang batubara, berpunggung cokelat liat penuh keringat, tak pernah mengeluh. Ibu Dina menawarkan jasa cuci segala hingga tangannya kapalan penuh gurat bekas deterjen, tetapi masih melayani suami tanpa mengeluh. Sayang, mereka terlalu minyak di lautan air penduduk. Tidak bisa membaur. Untungnya, mereka selalu mengapung, bisa memandang sampai jauh. Mereka mengintai satu-satu transmigran lain datang dan pergi, keluar masuk pondok. Pandangan Bapak Dina jatuh pada rumah kecil di blok sebelah yang dihuni perempuan kecil, suami berukuran dua kali lipat, dan seorang anak laki-laki yang juga kecil. Baru mulai curiga suaminya terpikat pada Perempuan Kecil, Ibu Dina malah menaksir anak laki-lakinya. Dia bertekad menjadikannya menantu, bahkan sebelum tahu namanya. Bapak Dina bungkam seribu bahasa ketika istrinya mengutarakan niat membesani Perempuan Kecil dan Lelaki Besar. Dia sadar dia tak lagi muda dan mencintai perempuan lain bisa berbahaya. Jadilah dia mengalah: cinta memang tak harus memiliki; tetapi demi anak—apalagi tunggal—apa saja boleh.

Waktu berjalan. Dina setali tiga liter minyak dengan orangtuanya—tak bisa larut juga, biarpun pemerintah membusakan banyak sabun. Minyak hanya bisa mencari sesama minyak di kepungan air. Anak laki-laki Perempuan Kecil adalah satu-satunya pilihan. Dina sedang bermain kelereng sendirian ketika anak itu mengajaknya berkenalan.

Dia mengulurkan tangan kanan dengan menyebut nama Idan.

Tangan itu dibalas uluran tangan kanan yang menyebut nama Dina.

Dalam hitungan detik mereka menyadari nama mereka terdiri dari huruf yang sama. Dibolak-balik saja.

Awan hitam bergulung dengan cepat. Matahari sembunyi, kelabu sana-sini, hujan sebentar lagi. Dina dan Idan berlari mencari tempat teduh—sebuah gudang beras tua; agak kosong karena sedang musim hawar. Supaya lebih cepat sampai, Idan memegang tangan Dina. Dada kecil mereka naik turun tak beraturan saat tirai langit pelan-pelan robek. Hujan sudah terlalu deras ketika mereka memelesat masuk gudang, hingga keduanya tak bakal bisa mendengar jika salah satu bicara. Idan memandangi kembang kempis napas Dina dan gelayutan kepang satu di pundaknya. Dina membalas, menusuk jauh lebih dalam—dia melihat payung kesabaran, dayung masa depan, larung perahu yang dikayuh bersama-sama.

Mereka kerap berpandangan sampai ibu mereka saling bilang mata mereka sudah kawin sedari dulu.

Sejak mereka kecil sudah begitu.

Sampai mereka remaja pun masih begitu.

Pada mulanya Dina dan Idan sudah terbelit dari nama, kata ibu Dina.

Pada akhirnya Dina dan Idan ditakdirkan bersama, sahut Perempuan Kecil.

Tahun itu Dina tujuh belas dan Idan dua puluh. Pesta itu kecil saja. Dina dan Idan semringah di hadapan jabat erat penghulu dan penuhnya cita-cita tiga orangtua. Hanya bapak Dina yang tak ada—dia tewas empat bulan sebelumnya, kecelakaan tambang. 

Dari mula Dina mencurigai keganjilan ibu Idan. Perempuan Kecil membawa selampai yang kekecilan ketika resepsi. Maskaranya luruh dengan cepat; membuat Dina samar-samar ingat. Itu selampai yang pernah ada di laci ayahnya. Benarkah itu? Sebelum dia sempat mengutarakan pengamatan itu kepada siapa pun, Idan yang buruh bangunan mengajak Dina pindah ke pondok kecil dekat jalanan menuju Arosuka. Ketika Dina menanyainya, Idan cuma menjawab, “Demi tidak mertua indah.”

Di pondok baru, Idan lebih nyaman pulang-pergi ke proyek. Pemerintah daerah bertekad membangun daerah baik-baik, mumpung sudah mulai otonomi. Di balik itu mereka korupsi atau tidak, Idan tak terlalu peduli. Yang penting tempat tinggalnya tak terlalu jauh. Siang-siang dia bisa pulang sebentar. Sore tentu dia pulang lagi. Malam tinggal pergi lagi.

Di pondok baru ada banyak tetangga. Perempuan-perempuan penggarda gerendel rumah, rata-rata lebih tua daripada Dina. Mereka menggunjingkan banyak hal: calon presiden yang tak mereka sukai, guru di sekolah, harga telur, pekerjaan suami masing-masing, dan ujung-ujungnya uang. Belum pernah bekerja seumur hidupnya membuat Dina kebingungan apa itu uang. Tetangganya yang paling bongsor menjelaskan betapa darat lintah-lintah di pondok baru. Tetangganya yang paling comel menjabarkan bagaimana uang bisa mengusir lintah darat. Perlahan Dina menggeser kacamatanya: dari Idan menjadi uang.

Idan, dan Idan, dan Idan; kini menjadi uang, dan uang, dan uang.

Tiada nikmat selain uang.

Masalahnya Dina cuma perempuan, cuma bisa kerja kasar. Tak bisa lebur dengan perempuan-perempuan lain yang kuat di sekitarnya membuat dia semakin minyak, semakin pisah dengan air, terasing sendiri. Mau bekerja, dia tidak bisa. Untuk bekerja dia butuh ijazah dan untuk punya ijazah dia butuh pendidikan. Pendidikan baik cuma ada di Padang dan dia harus naik bus ke sana, meninggalkan semuanya. Juga Idan.

Pengorbanan yang terlalu berat.

Tak ada pilihan lain: seluruh tubuh Dina berada dalam rumah di siang hari dan sebagian tubuh Idan berada dalam tubuh istrinya di malam hari.

Lama-lama Dina bosan. Mengembangkempiskan pintu masuk bagi Idan di tubuhnya tidak bisa mendatangkan uang.

Yang ada malah mendatangkan bakal jabang.

Suatu siang, ada rombongan datang dari jauh. Desas-desus bilang, mereka semua dari Jakarta. Bapak-bapak dan ibu-ibu itu butuh beras, tapi banyak yang bilang mereka cari dukungan suara saja. Mereka rela berlarat-larat dari Jakarta sampai Solok, mencari beras paling baik. Tetangga-tetangga Dina berhamburan ke lapangan, menunggu bapak-bapak dan ibu-ibu itu datang. Dina malas-malasan: hamil tiga bulan dan mual membatasi gerak-geriknya. Sementara tetangga-tetangganya gencar berlomba memanjangkan tangan untuk bersalaman, Dina cuma ikut-ikutan. Namun aneh, malah Dina yang dapat. Dia ditarik ke depan. Ke hadapannya disodorkan mikrofon. Disorot kamera televisi: gemerlap yang Dina nanti.

“Nama Ibu siapa?”

Tangannya mulai basah oleh keringat. “Dina.”

“Apa benar suaminya ikut proyek membangun gedung untuk markas partai kami?”

Dina tak tahu menahu apa yang Idan kerjakan. Idan tak pernah cerita. Dina mematung.

“Oh, maaf, Bu. Nama suaminya, boleh tahu?”

“Idan.”

“Pak Idan? Dan Anda Bu Dina?”

Dina mengangguk. Merah di muka mencairkan patung dalam dirinya.

“Oalah. Memang jodoh. Namanya saja mirip!”

Rombongan politik punya beberapa macam kegemaran: berteriak-teriak ketika unjuk rasa di luar, atau menggebrak-gebrak meja ketika rapat di dalam. Keributan spontan itu sama di mana-mana.

“Ibu Dina sudah punya anak?”

Dina mengelus kebuntingannya yang masih rata, “Belum.”

“Ibu namai Andi kek. Atau Dian. Atau siapa…. Pakai huruf-huruf yang sama. Kan banyak tuh kombinasinya.”

“Iya, Bu. Nanti bisa masuk museum rekor.”

“Dipanggil ke Jakarta. Syukur-syukur dapat tunjangan khusus dari Pak Presiden.”

“Hush. Mana ada beliau ngasih tunjangan. Cuma ngasih sepeda!”

Memang benar mereka rombongan politik. Mereka berisik sekali sampai Dina tak lagi tahu siapa yang mengucapkan apa.

Tetapi soal museum rekor, Jakarta, Pak Presiden: Dina mendengar semuanya. Memasukkan semua lewat dua telinga ke ceruk-ceruk terdalam otaknya.

Mencamkannya baik-baik.

 

*

 

Idan manut saja ketika istrinya punya ide menamai anak-anak mereka sedemikian rupa.

Anak pertama perempuan. Namanya Dian. Bulannya kurang dan lahirnya sungsang. Ibu Idan meninggal beberapa bulan sebelum Dian lahir, lalu dia dengar bapaknya merantau jauh. Masa-masa sulit pun datang.

Anak kedua laki-laki. Namanya Andi. Lahirnya dengan rambut lebat dan dua gigi seri. Idan pindah proyek, lebih besar. Solok kian mapan. Mereka juga. 

Anak ketiga perempuan. Namanya Nida. Sempat tak bernapas waktu lahir dan tubuhnya kecil. Dari puting Dina susu masih mengalir deras waktu dia hamil lagi.

Mereka pulang ke rumah orangtua di pertengahan tahun, ketika Dina hamil lima bulan. Itu kali pertama dua orangtua mereka berkumpul lengkap dalam sekian tahun. Bapak Idan-lah yang kerap tak ada. Lelaki besar itu ternyata bolak-balik Padang-Jakarta. Sekarang, ketika dia pulang, dia membelalak ketika melihat Dina hamil. 

Dia tahu harus bicara dengan Idan sekarang juga. Bapak Idan menempuh cara biasa: mengadang pintu dengan badan besarnya. Idan tahu kode itu—bicara berdua saja, penting.

Idan menyelinap ke kebun ketika Dina tertawa bersama dua ibu. Dengan mudah, dia mendapati bapaknya tengah merokok; seperti biasa. Kepulan asap tak berhenti dari bibir hitam dan hidung peseknya, sampai sekarang. Bapaknya tampak tak nyaman. Idan tampak kebingungan.

“Dan, itu anakmu yang keberapa?”

Idan menjawab ragu, “Keempat. Ada apa, Pak?”

Sontak asap putih berdesak-desakan keluar dari mulut dan hidung bapak Idan.

“Nama anak-anakmu, siapa?”

Idan menyebut nama mereka semua dalam satu tarikan napas.

Seketika bapak Idan menghela napas, menggeleng tak percaya.

“Kutukan itu rupanya benar.”

Ganti Idan yang terperanjat. “Kutukan apa, Pak?”

Mata mereka tak mau saling pandang, lebih memilih bergumul dengan gerumbul anggrek.

“Ibumu.”

“Ibu kenapa, Pak?”

Bapak Idan terlihat ragu. Rautnya ingin masuk gigi mundur tetapi tak bisa. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Bisa-bisa Idan terlambat, pikirnya.

“Ibumu tidur dengan bapak istrimu.”

Belum pernah Idan melihat bapaknya begitu ciut, seakan begitu kecilnya. Badan besar itu rupanya membungkus hati yang bertekuk lutut pada setan bernama Pengkhianatan.

“Bapak istrimu mencoba membunuh ibumu karena ibumu sudah mengakui perbuatannya ke Bapak. Dia tak bisa memaafkan ibumu. Terpaksa, ibumu bertindak. Dia bunuh bapak istrimu. Kalian menikah. Setahun kemudian, dia tak tahan. Dia bunuh diri sambil merapalkan kutukan.”

“Jadi….”

“Bapak istrimu dibunuh. Ibumu bunuh diri.”

Idan tak sanggup menggerakkan bibir.

“Ibumu bilang, kamu dan Dina takkan selamat karena ulah bapak istrimu ke keluarga kita. Keluarga istrimu berutang sama kita. Baru dianggap beres kalau kamu dan Dina memiliki empat anak dengan nama yang abjadnya sama dengan nama kalian berdua, lalu kalian bersedia.”

“Tergenapkan? Bersedia?”

Bapak Idan mengedikkan bahu. “Bapak nggak tahu persis apa artinya, Dan. Tapi kalau bisa, kamu menghindar saja.”

“B-b-bapak tidak bil….”

“Bapak pikir ibumu cuma gertak sambal.”

Sesekali dia menoleh ke balik tirai rumbai plastik. Suara perempuan selalu menggelegar kalau bertemu perempuan lain, biar itu ibu sendiri. Sesekali juga mata gusar bapak Idan mencuri pandang ke besar perut Dina.

“Belum terlambat, Dan.”

 

*

 

Rencana Idan gampang saja. Tiga anak dititipkan ke tetangga, sementara Dina melahirkan (kali ini perempuan) dan istirahat di rumah. Idan yang mengurus pendaftaran nama anak keempat itu ke catatan sipil. 

Dian, tiga tahun.

Andi, dua tahun.

Nida, sebelas bulan.

Lalu anak ini.

Empat anak berdesak-desakan, mau tak mau Idan harus berpikir keras bagaimana menyekolahkan dan menghidupinya layak nanti.

Anak yang Idan bayangkan akan memikul berat nama yang tak sesuai jenis kelaminnya, sekaligus menggendong ambisi ibunya.

Anak yang tidak akan pernah lucu sebab dia takkan sanggup mengurangi kewajiban pajak bapaknya, dan pengobatannya takkan dibiayai negara.

Anak yang takkan pernah disayang ibunya sebab dia cuma pelengkap kaki meja untuk menyangga tumpukan berhala yang dipuja Dina.

Dani yang malang. Di pikiran Idan terlintas niat berkelakar yang kerakal. Kalau namanya diganti Danny, mungkin nasibnya bisa lebih baik.

Selagi menuliskan huruf demi huruf namanya, Idan ingat betapa kecil bapaknya di hadapan Kutukan. Kalau Kutukan saja bisa menciutkan bapaknya yang begitu besar menjadi beberapa persen lebih kecil, apalah jadinya kalau dia sendiri yang kena? Lagipula, tergenapkan. Idan bertanya-tanya ketika menunggu petugas sipil mengecap ini itu: apa yang ganjil dalam keluarga mudanya sehingga mereka butuh penggenapan? Bagaimana dia bisa bersedia kalau dia tidak tahu? Takut dan kalut mengaldu, lalu mengental dalam pikiran Idan yang keburu pintal.

Dina bisa nekat. Kutukan bisa nyata.

“Apa bedanya, Dan? Aku pergi sendiri, kalau begitu.”

“Jangan nekat, Din.”

“Aku bawa anak-anak. Sekalian cari uang.”

“Ke mana?”

“Padang. Baru ke Jakarta.”

“Gila.”

“Dibayari Museum Rekor, Dan. Mereka sudah janji dari sebelum Dani lahir. Sayang, Dani salah nama jadi harus ditinggal, ya.”

Pitam Idan tak tahan untuk mulai mendaki tangga.

“Bisa-bisanya kamu tak minta izin ke aku, Din.”

“Buat apa, Dan? Ini demi uang! Kita semua butuh uang, kan, Dan?”

“Oh, jadi gara-gara uang kamu rela begini? Kamu pura-pura sakit, nyuruh aku urus akta Danny, padahal kamu baik-baik saja dan mau ke… ke mana tadi? Jakarta?”

“Memang dari dulu uang kita selalu kurang, kan, Dan?”

“Dulu kubilang dua anak saja. Yang mau empat, siapa?”

Idan tahu kelaminnya juga salah—kalau dirayu gampang goyah. Jadi Idan diam.

Itulah kali terakhir dia bicara dengan Dina.

Ada teriakan buat Dian. Mereka berempat akan naik truk yang menuju kota. Dina menyuruhnya berkemas dan mengepak adik-adiknya.

Idan menatap tiga anak yang menggeletak di lantai—Dian yang tanpa bertanya langsung berdiri dan membongkar isi lemari, Andi dengan serakan balok-balok, dan Nida yang teronggok dengan raungan keras. Dina menatap jijik pada anak yang didekap Idan, lalu masuk kamar dan mulai memupurkan celak. Idan rasa percuma juga mendebat perempuan dengan banyak-tuntut-banyak-buntut. Dia memutuskan pergi saja. Pertama ke rumah tetangga—menitipkan bayi kecilnya—lalu berjalan balik ke proyek, masih dengan aduk-aduk kalut dan takut.

Tiga jam kemudian, Idan dipanggil buruhnya—sebuah kebalikan, pertanda sebuah hal luar biasa. Kabar datang dari jurang tepi jalan Sitinjau Lauik langsung ke lantai enam proyek. Di antara para korban ada tiga anak kecil berbaju bagus, ada pecahan kepala berkepang satu. Semua menyambar Idan dengan keras. Masih berhelm, Idan kaget bukan main. Dalam perjalanannya tergopoh turun, dia terpeleset bilah linggis.

Dalam lima ratus hari, kadang ada satu kematian di dalam rumah. Kadang tiga.

Anak Baru Lahir yang malang. Bahkan sebelum dia tahu cara mendengar dan mengerti apa itu kematian, ibu dan tiga kakaknya tewas karena truk yang mereka tumpangi terguling menuju nganga jurang, disusul bapaknya tiga jam kemudian dengan leher yang tertekuk memilukan.

Lima padam sekaligus dalam tiga jam.

Tak ada nasib yang bisa lebih buruk untuk Anak Baru Lahir seperti dia.

 

*

 

Mahasiswa itu baru berkedip kali pertama dalam sepuluh menit terakhir.

“Ceritanya seram, Bu.”

“Begitulah. Masih untung saya baik-baik saja. Saya juga bingung bagaimana bisa.”

“Lalu, Ibu dirawat siapa?”

“Ada pasangan baik hati di Padang. Sudah agak tua tetapi lelakinya mandul. Mereka mau merawat saya tanpa syarat.”

“Ibu sendiri, bagaimana?”

“Yah,” perempuan itu menghela napas, “bayi tidak pernah bisa memilih, kan?“

Mahasiswa-mahasiswa lain menatap layar. Di sana terpampang skema tanjakan Sitinjau Lauik— relief legendaris yang menghubungkan Solok dan Padang—di sana. Beberapa menggeleng. Beberapa masih sibuk mencecar perempuan yang baru selesai bercerita itu. Penasaran memang kerap membunuh kesopanan.

“Jadi, Kutukannya berhenti, Bu?”

“Saya tidak tahu.”

“Karena itu Ibu tidak mau menikah?”

Perempuan Pencerita menampik, “Bukan begitu juga. Hmmm… entahlah. Saya tidak tertarik untuk meneruskan Kutukan.”

Matanya memandang jauh seperti genangan minyak di atas lautan air, ketika tangannya merapikan kepang satu di balik pundak.

“Lalu nama Ibu di akta, bagaimana?”

Diam agak lama, Perempuan Pencerita menjawab, “Kalian sudah tahu nama saya, bukan?”

Para mahasiswa berpandangan, lalu menahan napas.

“Danny. Dengan dua N, pakai Y.”

 


Jakarta, 18/10/2018 | 2578 kata | Pernah dimuat di Storial untuk suatu kompetisi, tetapi kalah (dengan memalukan).

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s