Selamat datang di laman spesial tentang tetek-bengek Cadl (2020). Laman ini adalah yang pertama dari empat bagian. Di sini kalian bisa memuaskan penasaran kalian tentang buku ini; mulai dari proses kreatif dan penulisannya, isi buku catatanku, dan hal-hal menarik lainnya. Sebagian mungkin sudah kalian ketahui dari tanya-jawab yang pernah kulakukan di media sosial pada paruh pertama Maret 2020 lalu, tetapi kali ini kuusahakan untuk menjabarkannya dengan lebih rinci dan runut. Ada baiknya kalian menyimak halaman ini setelah selesai membaca bukunya; akan tetapi jika belum, semoga kalian menjadi penasaran 😉
Demi kenyamananku (dan kebaikan kita bersama), aku tidak melenyapkan huruf E dari keempat halaman ini.
Selamat menikmati.
[bagian 1] [bagian 2] [bagian 3] [bagian 4]
Babak 1: Asal Muasal
Jika Isabel Allende selalu mulai menggarap bukunya setiap tanggal 8 Januari, aku tidak pernah dengan sengaja menunggu tanggal tertentu untuk mencari ide atau memulai draf pertama. Draf pertama Buku Panduan Matematika Terapan dimulai pada tanggal 29 Maret 2017. Draf pertama Cara Berbahagia Tanpa Kepala dimulai pada tanggal 6 Juni 2018. Tidak ada pola khusus, juga tidak ada tanggal spesial yang kuyakini sebagai hari keramat.
Suatu siang hari Kamis, komputer yang biasa kugunakan untuk bekerja di siang hari mengalami gangguan. Tiba-tiba saja tombol S tidak berfungsi. Setelah komputer itu kumatikan dan kuhidupkan lagi, kerusakannya malah tambah parah. Angka 2, tombol W, dan tombol X ikutan macet. Kemudian baru ketahuan bahwa papan ketik komputer itu betulan rusak dan harus diganti. Sampai di sini, aku belum menganggap kejadian itu sebagai hal yang serius.
Malam harinya, setelah beres mengerjakan penulisan ulang Cara Berbahagia Tanpa Kepala, aku mampir sebentar ke Quora (bahasa Indonesia). Di sana baru saja muncul pertanyaan ini. Bagi yang malas mengklik, pertanyaan itu berupa tantangan untuk menulis paragraf tanpa satu pun huruf E. Istilah bekennya: lipogram.
Eh. Tunggu. Tanpa satu pun huruf E?
Rusaknya tombol huruf S dan munculnya tantangan untuk menulis tanpa huruf E terjadi pada hari yang sama. Tanpa menyadari tanggal berapakah hari itu, aku menganggap dua kejadian terpisah itu sebagai panggilan yang serius.
Hari itu tanggal 3 Januari 2019. Tanggal yang cantik secara numerik bagiku, karena tersusun atas angka 3 dan angka 1. Sangat sesuai dengan nama “Triskaidekaman”, bukan?
Saat itu proses penulisan ulang Cara Berbahagia Tanpa Kepala sudah hampir selesai. Kira-kira sudah rampung 85-90%. Mengingat draf satu Kepala sangat kacau dan proses penulisan ulang tentu tidak boleh sekacau itu, tentu saja aku tak mungkin langsung menuruti nafsu untuk mengeksekusi panggilan serius tadi. Kucoba diamkan panggilan itu, sambil memikirkan bagaimana cara mengakhiri nasib Sempati di Cara Berbahagia Tanpa Kepala. Panggilan itu bukannya melemah. Malah makin berkobar seperti api kedengkian yang disiram bensin, ditiup angin pula. Apa boleh buat, aku pun mencoba memetakan konsepnya pada tanggal 6 Januari.
Aku segera sadar bahwa menghindari huruf E ini bakal menjadi batu sandungan besar. Urusannya bukan cuma ribuan kosakata yang harus kuhindari, tetapi juga menyangkut kata sambung, awalan, sisipan, dan urutan! Sepertinya ini bukan huruf yang baik untuk pemain oulipo pemula. Namun, intip punya intip, warga Quora masih saja getol bermain di tantangan paragraf tanpa huruf E tadi. Malah mereka jago-jago, bisa menulis dengan lancar dan cukup panjang. Seperti tidak ada masalah serius soal kata sambung, awalan, sisipan, dan urutan. Kok bisa? Nah, sebagai penulis yang kemampuan mendengkinya jauh lebih besar daripada kemampuan menulisnya, tentulah aku tak mau kalah dari para warga Quora itu. Jiwa sombongku menangis keras. Karena itulah, konsep lipogram-tanpa-huruf-E itu kutetapkan nyaris tanpa pernah mempertimbangkan huruf lain, termasuk huruf S (kembali ke urusan papan ketik di awal tadi).
Setelah proses penulisan Kepala selesai pada tanggal 10 Januari, “panggilan lipogram” tadi justru menjadi jauh lebih kuat. Seperti proyek-proyek lainnya, aku selalu mulai dengan penyelidikan tentang konsep tulisan yang mau kugunakan. Apakah konsep seperti ini sudah pernah dipakai? Sesuai dugaan, jawabannya sudah. Georges Perec pernah menulis La Disparicion (1969), karya dalam bahasa Prancis yang sama sekali tidak menggunakan huruf E. Puluhan tahun sebelumnya, Ernest Vincent Wright pun pernah menulis Gadsby (1939), karya dalam bahasa Inggris yang juga tidak menggunakan huruf E.


Sekarang persoalannya adalah posisi huruf E dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa asing. Dalam bahasa Prancis dan bahasa Inggris, huruf E adalah huruf yang paling sering digunakan. Kalau begitu, bisa dibayangkan seperti apa tingkat kesulitan pengerjaan La Disparicion maupun Gadsby. Mungkin sepadan dengan tingkat kesulitan kalau seseorang mencoba menulis lipogram-tanpa-huruf-A dalam bahasa Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia huruf A adalah yang tersering digunakan. Namun, tidak seperti huruf E dalam bahasa Inggris yang frekuensinya hanya di kisaran 15%, frekuensi huruf A dalam bahasa Indonesia biasanya berada di kisaran 20%. Kalau satu novel itu biasanya terdiri atas minimal 300.000 karakter, selisih 5% sudah senilai dengan 15.000 huruf; dan menurutku 15.000 huruf itu banyak. Di sisi lain, meniadakan N; huruf nomor dua terbanyak; sama saja dengan meniadakan nyaris semua imbuhan, baik awalan maupun akhiran. Ini cari penyakit juga namanya.
Dari sanalah aku menyimpulkan bahwa huruf tersulit yang memungkinkan untuk coba kusingkirkan adalah huruf di urutan berikutnya: huruf E.
Berlumur semangat, aku masih tidak tahu apa yang menanti di depanku.
Babak 2: Substansi
Dalam sejarahnya, lipogram sering cuma dianggap tulisan main-main; alias tulisan eksperimen yang semata-mata mementingkan bentuk, tetapi tidak ada substansinya. Agar substansi proyek baruku ini tidak kosong-kosong amat, aku perlu mencari komponen cerita yang nyambung dengan penghapusan atau penghindaran terhadap huruf tertentu.
Tapi, komponen macam apakah itu?
Kuartal pertama 2019 itu dekat dengan kampanye, pemilu, dan irasionalitas daya pikir rakyat. Saat memilih petahana atau penantang sama-sama tidak menjanjikan apa pun, kebijakan-kebijakan penguasa dan keluhan rakyat semakin bertentangan, suasana hiruk-pikuk tak terhindarkan. Bahkan situasi sosial saat itu sudah mirip situasi yang digambarkan dalam cerita-cerita distopia. Yang sedarah tiba-tiba seperti orang asing hanya gara-gara pilihan politiknya tidak sama. Yang semula kawan tiba-tiba jadi musuh cuma karena silap bicara barang dua-tiga kata. Yang dulu dipuja-puja karena membela rakyat kecil kini menjadi pongah dan lupa marwahnya. Semua orang adalah domba sekaligus serigala. Kenyataan yang kita hadapi adalah situasi distopia itu sendiri.
Kupikir, distopia adalah genre yang pas untuk disandingkan dengan konsep cerita lipogram. Tema besarnya adalah Penghapusan atau Pelarangan. Menarik juga. Aku semakin bersemangat setelah mengingat pengalaman dulu saat menulis cerita distopia di Storial, era 2016-2017. Walaupun melelahkan, sensasinya menegangkan, sekaligus menyenangkan. Ada rasa takut dan dikejar-kejar yang entah bagaimana bisa selalu membakar semangatku untuk bisa konsisten hingga mencapai kata Tamat.
Maka sudah bulatlah tekadku saat itu: Cadl harus menjadi cerita distopia.
Nah, kemudian tibalah waktunya “merekrut” komponen-komponen cerita dan membangunnya menjadi konsep ide. Mungkin karena sudah kadung bersemangat, komponen-komponen itu berdatangan begitu saja, lancar sekali. Dalam waktu yang terbilang sangat singkat, jadilah konsep awal ide cerita yang kira-kira seperti ini (maaf tulisan tanganku sedang jelek).
Sejak awal, aku sudah merencanakan tema “diktator vs rakyat jelata” sebagai konflik utama. Sang diktator menetapkan sejumlah larangan seenaknya (termasuk melarang penggunaan huruf E itu), kemudian ada warga jelata yang mencoba mendobraknya. Saat itu aku belum tahu akan membuatkan sisi lemah apa bagi sang diktator, belum tahu juga rancangan aksi si warga jelata tadi dalam mencapai tujuannya. Walaupun demikian, sudah jelas bahwa tulisan ini tidak akan seperti Matematika yang surealis ataupun Kepala yang absurd. Tulisan yang ini sudah bisa dipastikan akan menjadi fiksi realis yang bersinggungan dengan sosial-politik secara langsung.
Kupikir, uh, kenapa jadi begini? Aku belum pernah menyinggung-nyinggung urusan relasi kuasa di tulisan-tulisan sebelumnya. Aku juga tidak tertarik-tertarik amat dengan topik semacam itu. Menurutku itu topik yang membutuhkan keberanian ekstra, pengambilan sudut pandang yang harus berhati-hati, dan rawan dihujat oleh kalangan tertentu. Mulailah jiwa overthinker-ku meronta (minta disembelih?).
Apa nanti tulisan ini bisa diterima orang?
Apa tidak jatuhnya jadi luapan kemarahan semata?
Mengingat nasib (persepsi) Matematika dan Kepala, bagaimana kalau aku jatuh ke lubang yang sama untuk ketiga kalinya?
Walaupun begitu, anehnya di sisi lain aku justru merasa tertantang. Selama ini aku merasa tulisanku (baik yang menjadi buku maupun yang tidak) selalu takut-takut, mencoba berdiri di posisi abu-abu, dan berusaha untuk tidak menyatakan sikap hitam ataupun putih. Ini kesempatan untuk menjajal nyali (yaelah bahasanya). Tidak ada salahnya sesekali memberanikan diri, kan? Lagipula, salah satu penulis terkenal yang pernah kuikuti kelasnya pun menganjurkan untuk melakukan Kaizen writing, yang artinya “cobalah setidaknya satu hal baru di setiap tulisan yang baru mulai digarap.”
Hmmm. Coba kudata dulu apa saja hal-hal baru yang ingin kucoba kali ini.
Tulisan yang agak menyenggol politik.
Tulisan realis tanpa unsur fantastis (hantu atau hal-hal absurd).
Tidak boleh pakai huruf E, lagi.
Eh, sudah berapa hal baru, tuh? Kok banyak?

Dan demikianlah keberanian itu bermula. Seperti banyak kisah keberanian lainnya, modal awalku waktu itu cuma nekat. Kerangka cerita belum utuh saja sudah berani jalan. Seakan tak cukup ambisius, ketidaksukaanku menunda-nunda dan jiwa kebelet yang erat membelit pun mendorongku untuk langsung mulai saja. Komponen-komponen yang masih rumpang, bagaimana? Ah, pikirku, gampanglah, nanti bisa menyusul belakangan Sayangnya, aku keliru. Pengerjaan Cadl tak lebih mudah daripada Matematika, daripada Kepala, dan daripada apa yang pernah kubayangkan.
Babak 3: Penjudulan dan Adaptasi
Omong-omong soal judul, aku mendapatkan judul Cad*l pada tanggal 13 Januari 2019.
Proses mendapatkan judulnya sederhana saja. Inspirasi awalnya dari kata “cadel” dalam bahasa Indonesia, alias “orang yang tidak bisa melafalkan huruf R dengan baik.” Dalam bahasa Inggris, “cadel” diistilahkan sebagai rhotacism. Istilah ini cukup ironis, mengingat istilah ini sendiri mengandung huruf R di dalamnya.
Justru fakta inilah yang menerbitkan gagasan iseng di kepalaku, HAHAHA.
Dengan dasar pemikiran yang sama, bukankah seharusnya kata “cadel” juga bisa diheteronimkan menjadi “cadl“, yang artinya “orang yang tidak bisa melafalkan huruf E dengan baik”, dong?
Begitulah. Jadi, “cadl” adalah istilah heteronim yang (dalam cerita ini) menunjukkan ketidakmampuan rakyat Wiranacita untuk menyebut huruf E; yang tak lain dan tak bukan adalah karena dilarang diktator mereka sendiri. Setelah itu, segeralah kujadikan “cadl” sebagai working title buat tulisan yang ini.
Setelah punya working title atau judul proyek, aku tahu bahwa yang harus segera kulakukan adalah berlatih menghindari huruf E dalam menyusun kalimat dan membangun paragraf. Latihan ini penting bagiku, karena tanpa kelancaran menulis (tanpa huruf E), proses penulisan Cadl ini bakal lama sekali. Walaupun proses latihan sudah resmi kumulai sejak awal proyek ini, latihan yang sebenarnya baru mulai kujalankan secara intensif pada akhir Januari 2019.

Bersamaan dengan dimulainya latihan, aku mulai membuka-buka tesaurus daring, demi mencari padanan kata yang tidak ada huruf E-nya. Susah. Capek. Lama-lama bosan juga buka-buka situsnya terus, jadilah kubuat catatan ini. Kata yang kugaris ungu adalah kata pilihanku saat itu (awal Februari 2019).


Namun, lama-lama kamus-kamusan ini tidak terurus juga. Aku pun kembali menggunakan tesaurus daring dan tidak pernah mencatatnya lagi (dasar plinplan dan malas sih memang).
Kembali ke medan latihan. Berhubung masih newbie dalam urusan per-oulipo-an dan staminaku masih brekele, latihanku tidak serta-merta mulus (aku mulai menyesal mengapa dulu aku menertawai Perec). Menyusun kata-kata bukan cuma urusan ceplak-ceplok isi tesaurus ke dalam kalimat. Kalimat-kalimat buatanku masih sangat tidak enak dibaca dan tersendat-sendat; belum bagus seperti tulisan rekan-rekan di Quora. Masalah lainnya adalah bahwa membiasakan diri menulis tanpa huruf E itu tidak bisa secepat yang kupikir. Aku masih sering kecolongan di awal-awal masa adaptasi ini. Buktinya: ketika aku mengetikkan huruf “e” di kotak Search di kanan atas layar Microsoft Word, hasilnya masih ada saja. Kadang ada 15 results, kadang 7 results. Tidak No results seperti yang kuinginkan. Jiwa sombong yang tadi menangis keras kini bungkam. Rasakan akibat ketakaburanmu Mbak, makiku kepada diri sendiri.
Lambat laun, latihan ini mulai menampakkan hasil juga. Huruf E yang lolos semakin sedikit. Tadinya belasan dalam satu tangkapan layar, berkurang jadi cuma beberapa, dan pada contoh latihanku pada tanggal 21 Februari 2019 ini, tinggal satu. Hari itu, Lamin (salah satu tokoh utama Cadl) masih menjadi penjual es krim. Dia belum kuperkenalkan dengan pisang.
Sesi adaptasi ini berakhir pada 22 Februari 2019. Hanya di tahap adaptasi ini, aku sudah “membuang” sekitar 17.500 kata; dan cerita ini belum punya juntrungan yang jelas. Setelah ini, barulah aku mulai masuk ke proses penulisan bangunan cerita yang sebenarnya.
Babak 4: Maju Mundur (yang Tidak Cantik)
Inilah rencana plot awalku:

Selama bulan Maret sampai Juni 2019 (di luar proses rilis Cara Berbahagia Tanpa Kepala), di proyek Cadl ini aku praktis hanya menulis-menghapus-menulis-menghapus. Aku tak ubahnya setrika (idaman) yang kadang maju, kadang mundur, kadang didirikan seperti tugu yang bengong saja sepanjang hari. Kalau bukan karena kalimatnya macet-macet, ya karena ceritanya melantur ke mana-mana, atau melebar ke arah yang keliru.
Misalnya, aku pernah membuat Lamin melantur jadi orang yang percaya takhayul dan hobi membaca ramalan zodiak di balik bungkus kacang goreng. Karakterisasi macam ini kemudian kuubah, karena ramalan zodiak kurasa kurang masuk dengan gambaran besar ceritanya. Jangan tanya juga bagaimana nasib karakter Vita, unsur sepakbola, dan kacang godok yang kusebut dalam layar ini: semua sudah ditumpas sampai ke akar-akarnya.


Atau, aku juga pernah membuat Lamin terdampar di tindakan pemasangan sensor huruf E pada rongga mulutnya, yang membuat cerita Cadl ketika itu tampak sangat mirip dengan Cara Berbahagia Tanpa Kepala. (Ya kali, masak cerita gore begituan kuulang-ulang terus?)
Saat cerita Cadl sudah terlalu tak keruan, jiwa malasku yang ganti menguasai pikiran dan tangan. Aku pun mulai dari nol—hingga lima kali. Setrika mendingin dan harus dipanaskan kembali.
Draf paling awalku berhenti di angka 2.700 kata. Berikutnya aku berhenti di 2.350 kata. Berikutnya lebih brutal lagi: 27.863 kata. Kalau ditotal dengan masa adaptasi, sampai di sini saja sudah ada 50 ribu kata lebih. Dari 50 ribu kata ini, nyaris tak ada bagian yang selamat dalam bentuk utuh sampai ke versi buku. Sebagian sudah ditulis ulang, sebagian yang lebih besar malah dimusnahkan.
Tak kusangka, maju mundur tak cantik yang tak mengenakkan ini akhirnya menemui jalan keluar di Makassar International Writers Festival 2019.
Kok bisa?
Ceritanya, sebelum MIWF, Lamin (si karakter utamanya) masih kubuat sebagai penjual es krim. Begitu tiba di MIWF 2019, ada banyak penulis non-Makassar yang sering menyebut nama hidangan “pisang ijo” dan mengatakan mereka ingin mencicipinya. Aku yang bukan penggemar pisang hanya menyaksikan mereka yang seperti sedang berlomba cepat-cepatan mencicipi pisang ijo terbaik di sana.
Kupikir, wah, sepertinya menjadikan Lamin pedagang pisang boleh juga nih.
Nah, yang kulakukan selanjutnya adalah mencari tahu beberapa makanan olahan pisang lainnya, selain pisang ijo. Ada nagasari, bongko, palubutung, roti pisang, pisang rai, pandan banana, banana split. Semuanya tidak punya huruf E, Ferguso! Aku seperti menemukan melon runtuh (karena aku tak suka durian); semacam jalan keluar setelah berputar-putar tanpa arah selama empat bulan. Rasanya ingin tertawa terbahak-bahak seperti raksasa jahat di film-film, tetapi aku tahu aku harus menahan diri dan menjaga pencitraan. Tentunya tak mungkin juga aku membiarkan orang-orang yang kutanyai tentang nama-nama hidangan pisang itu tahu apa alasanku bertanya, kan?
Dan benar saja: sepulangnya dari MIWF, aku langsung meninggalkan draf di posisi 37.622 kata, untuk mengulang dari awal buat yang keenam kalinya. Kali ini, barulah karakter Lamin kusuruh berjualan pisang.
(Catatan: Bagi yang merasa kutanyai nama-nama hidangan pisang semasa MIWF dan masih ingat, HAHAHA dan terima kasih!)
Bersambung ke bagian kedua.
Baca juga bagian ketiga dan bagian keempatnya.
3 thoughts on “Cerita-cerita Absurd di Depan Layar Cadl (bagian 1)”