Cerita-cerita Absurd di Depan Layar Cadl (bagian 3)

Screen Shot 2020-03-08 at 15.53.59Selamat datang di laman spesial tentang tetek-bengek Cadl (2020). Laman ini adalah yang ketiga dari empat bagian. Di sini kalian bisa memuaskan penasaran kalian tentang buku ini; mulai dari proses kreatif dan penulisannya, isi buku catatanku, dan hal-hal menarik lainnya. Sebagian mungkin sudah kalian ketahui dari tanya-jawab yang pernah kulakukan di media sosial pada paruh pertama Maret 2020 lalu, tetapi kali ini kuusahakan untuk menjabarkannya dengan lebih rinci dan runut. Ada baiknya kalian menyimak halaman ini setelah selesai membaca bukunya; akan tetapi jika belum, semoga kalian menjadi penasaran 😉

Demi kenyamananku (dan kebaikan kita bersama), aku tidak melenyapkan huruf E dari keempat halaman ini.

Selamat menikmati.

 


[bagian 1] [bagian 2] [bagian 3] [bagian 4]


 

Babak 9: Bagus Prihardana 2.0 [warning: containing spoiler]


Akhir tahun 2016, saat masih bodoh-bodohnya, aku pernah mengikuti tantangan menulis berhadiah buku dari salah satu penerbit. Saat itu, kami dimintai menulis apa pun tentang kehilangan. Ketika peserta lain rata-rata menuliskan pengalaman kehilangan masing-masing, aku memilih membuat fiksi bertema kehilangan. Nama karakter yang menjadi tokoh utama di cerita pendek sepanjang hampir 2000 kata itu adalah Bagus Prihardana. Ceritanya sudah kumuat di blog ini dan bisa kalian baca di sini.

Omong-omong, aku terpilih sebagai salah satu peserta yang berhak mendapatkan bukunya. Tapi bukan itu yang mau kubahas lebih dalam. Justru setelah itu, aku merasa perlu “mendayagunakan” Bagus dengan lebih maksimal lagi. Rasanya sayang saja, namanya sudah kubuat bagus-bagus tapi kok disia-siakan di mesin fotokopi.

Di awal tahun 2017, sempat terlintas pikiran untuk menggunakan nama “Bagus Prihardana” sebagai nama pena saja. Waktu itu aku masih fokus menulis thriller, dan kupikir nama pena yang jelas laki-laki lebih mudah diterima, daripada nama ambigu macam Triskaidekaman. Masalah timbul saat aku iseng mengirimkan naskah ke Unnes Novel Contest 2017 dan kemudian menjadi pemenang. Saat juri melihat nama KTP-ku dan menggeleng (betapa pasarannya nama ini!), mereka menanyakan nama pena, dan kujawab Triskaidekaman. Habis, bagaimana mau kujawab Bagus Prihardana, kan: 1) sudah jelas KTP-nya perempuan, dan 2) disuruh datang ke acara penganugerahan pula.

Misi menjadi Bagus Prihardana langsung gagal di percobaan pertama.

Dengan begonya, aku terus menggunakan nama pena Triskaidekaman untuk setiap entri lomba yang kemudian kuikuti. Ada Bulan Nulis Novel Storial 2017, Kompetisi Cerita Pendek All Is Well Storial x Path 2018, Bulan Nulis Novel Storial 2018… aku seperti hilang ingatan tentang Bagus Prihardana. Di sisi lain, Buku Panduan Matematika Terapan (naskah jebolan Unnes Novel Contest tadi) juga lahir di bawah nama Triskaidekaman.  Jadi, Triskaidekaman semua dong? Bisa kalian bayangkan betapa rakusnya Triskaidekaman ini, sampai Bagus Prihardana tak kebagian tempat lagi. Mirip ibu-ibu yang hobi mengambil dua kursi di kereta; satu kursi buat diduduki dan satu kursi lagi dipakai buat menaruh barang. Ya begitulah. Seiring perjalanan, lama-lama semakin ketahuanlah bahwa walaupun tokoh utama tulisannya selalu laki-laki, Triskaidekaman adalah penulis perempuan. Sebetulnya bukan rekognisi macam ini yang kuharapkan saat awal-awal serius di penulisan kreatif; tapi nasi sudah menjadi bubur, buburnya diaduk pula.

Nah, lompat maju beberapa bulan. Pada saat penggarapan Cadl, aku sudah menetapkan bahwa seluruh warga Wiranacita harus dinamai dengan kata-kata kotor atau makian seperti contoh yang kucatat ini.

IMG_8418
Tolong jangan laporkan ini sebagai disturbing picture atau violating content, please!

Nah, justru di sinilah aku dihadapkan pada kebutuhan akan nama karakter yang lain daripada yang lain. Aku ingin membuat karakter yang namanya tidak mematuhi kaidah adat setempat Wiranacita. Saat kucari nama yang kira-kira sesuai, justru nama Bagus Prihardana-lah yang secara tiba-tiba muncul dalam ingatan. Selain tidak memuat kata kotor, nama Bagus juga “bagus”.

Kutimbang-timbang. Kalau sampai nama Bagus Prihardana sempat jadi karakter dalam novel yang kubuat, mau tak mau aku harus melepaskan kemungkinan untuk menggunakan nama pena itu ke depannya. Namun setelah dipikir-pikir, seharusnya nama pena laki-laki bisa dicari lagi nanti. Toh sekarang Triskaidekaman sudah ketahuan perempuan juga kan? Ya sudah, jadi kukorbankanlah nama Bagus Prihardana, dan jadilah dia karakter penting dalam cerita Cadl.

Sewaktu memasuki masa pengeditan/penulisan ulang yang sekaligus merupakan proses reworking terakhir (keenam), aku menulis ulang sekitar 80% dari versi naskah yang diajukan ke sayembara. Tentu penulisan ulang sebanyak itu mengubah banyak hal dalam cerita, tetapi bisa kukatakan bahwa kisah Bagus muda adalah bagian yang berubah paling drastis. Kalau kalian lihat di versi bukunya; bab [5], [6], [7], [8], dan [9] adalah bab-bab yang sama sekali baru dan tadinya (baca: di versi DKJ) tidak ada.

[SPOILER WARNING] Adapun Bagus versi baru ini kubuat lebih mendekati gabungan antara beberapa diktator aktual dalam sejarah, khususnya Mao Zedong (1893-1976) dan Joseph Stalin (1879-1953, sengaja kutulis sebagai “Iosif Stalin” di naskah Cadl). Dasar semesta mendukung, saat proses tulis ulang tersebut muncul pula twit ini di linimasaku.

Screen Shot 2020-03-28 at 23.49.38

Penyair yang mengurusi dunia itu celaka.

WA INIIII! 😍😍😍

Munculnya twit tersebut cukup membuatku yakin bahwa karakterisasi Bagus sudah pas. Kalau kalian baca kisah Stalin waktu kecil, bapaknya (Besarion) adalah pengrajin sepatu yang mulanya sukses tetapi lalu bangkrut dan jadi gemar memukuli istri dan anaknya. Atau Mao yang ayahnya adalah petani kaya tetapi juga ringan tangan. Cocok 😉. Jiwa sombongku mengikik, sementara aku bertanya-tanya apakah benar ini kebetulan, ataukah ada faktor nujum yang lagi-lagi bekerja tepat pada waktu dan tempatnya.

Dan demikianlah evolusi Bagus selesai di penulisan ulang keenam. Hasilnya bisa kalian baca sendiri.

Eits, tunggu. “Masalah”-ku dengan Bagus tidak selesai sampai di situ. Setelah proses tulis ulang keenam selesai di bulan Desember, cerita Cadl versi baru secara keseluruhan masih terus terpikir olehku. Semacam tak bisa move on. Demi melampiaskan ketidakmampuanku move on, kucoba mereka-reka seperti apakah kumpulan puisi Bagus, andaikan buku itu tidak dibakar dan masih ada. Proyek yang dimulai pada sekitar tanggal 12 Januari 2020 itu pun rampung pada akhir bulan yang sama. Oleh pihak penerbit, keisengan tambahanku ini pun disetujui untuk dijadikan buku suplemen. Ceritanya, tetap sih, pura-puranya adalah karya Bagus. Biar dia senang sedikitlah, kan tadi dia tidak dapat kursi di kereta karena keserakahan Triskaidekaman.

Screen Shot 2020-03-29 at 00.22.29
Anggap saja ini karya Bagus, bukan karyaku.

Bisa kukatakan bahwa merombak kisah Bagus muda adalah bagian yang paling membuatku bersemangat saat mengerjakan Cadl. Mungkin juga ini merupakan bagian hasil tulis ulang yang paling kusukai, juga hasil tulis ulang yang paling kuingat rinciannya. Entah ini pertanda baik atau buruk, aku tidak tahu. Tanyakan saja kepada Bagus.

IMG_8415
Baru kali ini aku mencatat statistik seluruh proses drafting novel, sejak masih berlepotan cuma belulang sampai benar-benar jadi. Jumlah kata final Cadl adalah 54.369 (jika puisinya termasuk), atau 54.053 (jika puisinya tidak termasuk). Selama proses menghasilkan 54 ribu kata lebih ini, aku menghapus 105.748 kata.

 

Babak 10 (Trivia): 1 dan 3


Bagi kalian yang sudah pernah membaca takarir foto-foto terkait Cadl di Instagram-ku, mungkin ini fakta bahwa “perjalanan Cadl banyak sekali melibatkan angka 1 dan 3” bukan lagi konten baru bagi kalian. Namun untuk melengkapi perjalanan kisah di balik layarnya, kubuat kembali rangkuman fakta-fakta terkait 1 dan 3 di sini.

  • Ide penulisan Cadl muncul pada tanggal 3 Januari 2019.
  • Masa penulisannya, terhitung sejak konsep awal sampai penulisan suplemen selesai, atau terhitung sejak menuliskan kata pertama sampai pengeditan selesai, adalah 13 bulan, atau 1 tahun 1 bulan.
  • Huruf E, yang tidak muncul sama sekali dalam buku ini, mempunyai 1 garis vertikal dan 3 garis horizontal.
  • Huruf E juga merupakan abjad terbanyak ketiga yang digunakan dalam bahasa Indonesia.
  • Huruf C, yang lagi-lagi kugunakan sebagai huruf pertama judul buku ini, adalah abjad urutan ketiga.
  • Nomor urut naskah Cadl pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 adalah 103.
  • Oh ya, Cadl adalah 1 dari (3 + 3) naskah yang termasuk dalam kategori “Naskah Menarik Perhatian Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019”.
  • Naskah Cadl baru beres setelah pengulangan dari nol sebanyak (3 + 3) kali.
  • Pengeditan layout selesai pada tanggal 3 Maret 2020.
  • Cadl cetakan pertama selesai dicetak pada hari Jumat, 13 Maret 2020 (Friday the 13th 😍)
  • Walaupun ini adalah buku ketigaku, Cadl adalah buku pertamaku yang ada bookmark-nya (bentuknya pisang, lho. Lucu 😍)

CADL_BOOKMARK

  • Sedianya, jika tidak ada pandemi, Cadl akan terbit di toko buku mulai 30 Maret 2020, alias hari Senin ke-13 di tahun 2020. Tapi, begitulah, manusia memang hanya bisa berencana.
  • Menyambut rilis Cadl ini, Podcast Buku Kutu sudah menyiapkan rekaman obrolan denganku. Kami mengobrol pada hari Minggu, 1 Maret 2020; dan sedianya rekaman ini akan diunggah sebagai episode 113.

Banyak, kan, 1 dan 3-nya?

 

Babak 11 (Intermezzo C): You Sing, You Lose


Di sini ada beberapa quote pilihan. Sebagian memang seleraku, sebagian lagi dari pilihan pembaca.

  • Sadar bahwa nasibku mirip kulit pisang—dicampakkan saat manisnya habis—aku tak mau nasibku makin hancur bagaikan martabak manis—cuma satu sisinya yang manis, saat sisi lainnya hangus. (halaman 12)

  • Namun, inilah adat Pratanagari lainnya: mau bagaimana pun rusaknya tubuh Kidung, laki-laki—apa lagi kalau jabatannya tinggi, uangnya banyak, dan jumlahnya ramai—tidak diwajibkan untuk minta maaf. (halaman 51)
  • “Saudara anggap ini cuma lumayan? Masih kurang apa lagi?”
    “Kurang Orang Dalam,” sahutku asal-asalan.

    (
    halaman 58)
  • Angkot yang kunaiki singgah di Jalan iKucing. Tadinya distrik bisnis ini punya nama-nama jalan yang khas: kata-kata makian. Jalan ini dulunya dinamai Jalan Tahi Kucing. Usai maklumat ganti nama diumumkan, harusnya nama jalan ini diganti jadi Hikucing. Tak tahu ulah siapa, rupanya huruf H dari nama jalan ini juga ikut hilang, dan huruf K-nya malah disulap jadi kapital. Jadilah nama jalan itu iKucing—dibaca ai-ku-cing. (halaman 61)
  • “Makanya buku-buku ajar tulisnya Ini ibu Budi. Itu bukan ibu Budi sungguhan. Itu gara-gara orangtua mau bilang jangan-lupa-balas-budi-sama-ibu-ya-nanti, tapi malu.” (halaman 88)

  • Bahkan saat jari manis Kas diganjar pisau dapur sampai putus di usia lima tahun, dan saat Karia jatuh jungkir balik dari ranjang yang tingginya dua puluh inci di usia dua tahun; tak ada suara raungan ambulans, tak ada juga acara kuras tabungan, apa lagi kuras air mata. Namun jarang sakit saja tak cukup untuk hidup layak. (halaman 109)
  • “Orang-orang di dunia sastra tak bisa jadi pimpinan bangsa. Kalaupun jadi, jadinya diktator, bukan panutan yang baik. Ilmuwan juga. Katanya ilmuwan tak bisa jadi pimpinan bangsa yang baik. Kalkulasi dan analisis tiada akhir. Pimpinan bangsa, konon, hanya milik dua golongan. Politikus dari lahir, atau Pasukan Baju Hijau.” (halaman 177)

  • “Tapi hoaks kan dilarang hukum!”
    “Tapi jualan kan tidak?”
    (halaman 216)
  • Aku mulai curiga, jangan-jangan itulah kunci pasangan bahagia yang aku dan 🐷 tak kunjung dapatkan sampai kami dipisahkan maut. (halaman 265)
  • Ini adalah lompatan paling indah yang bisa kubayangkan dan kulakukan. (halaman 270)

 


Bersambung ke bagian keempat.

Baca juga bagian pertama dan bagian keduanya.

2 thoughts on “Cerita-cerita Absurd di Depan Layar Cadl (bagian 3)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s