Cerita-cerita Absurd di Depan Layar Cadl (bagian 4)

Screen Shot 2020-03-08 at 15.53.59Selamat datang di laman spesial tentang tetek-bengek Cadl (2020). Laman ini adalah yang keempat (terakhir) dari empat bagian. Di sini kalian bisa memuaskan penasaran kalian tentang buku ini; mulai dari proses kreatif dan penulisannya, isi buku catatanku, dan hal-hal menarik lainnya. Sebagian mungkin sudah kalian ketahui dari tanya-jawab yang pernah kulakukan di media sosial pada paruh pertama Maret 2020 lalu, tetapi kali ini kuusahakan untuk menjabarkannya dengan lebih rinci dan runut. Ada baiknya kalian menyimak halaman ini setelah selesai membaca bukunya; akan tetapi jika belum, semoga kalian menjadi penasaran 😉

Demi kenyamananku (dan kebaikan kita bersama), aku tidak melenyapkan huruf E dari keempat halaman ini.

Selamat menikmati.

 


[bagian 1] [bagian 2] [bagian 3] [bagian 4]


Babak 12: Bagaimana aku melakukannya?


Salah satu pertanyaan yang sering kuterima sejak Desember 2019 lalu adalah bagaimana aku bisa sepenuhnya menghindari huruf E sepanjang 54.053 kata.

IMG_33508C689C9D-1
Komposisi abjad dalam naskah Cadl termutakhir per 13 Januari 2020, diurutkan dari kemunculan tersering sampai terjarang. Dalam bahasa Indonesia tertulis yang “normal” (non-lipogramatik), huruf E biasanya menempati urutan ketiga tersering. Terlihat di sini bahwa peniadaan huruf E menaikkan frekuensi huruf I, yang biasanya menempati urutan keempat tersering; menggeser huruf N, yang biasanya menempati urutan kedua tersering.

Awalnya aku mencoba memetakan seperti apa kira-kira tingkat kesulitan yang akan kuhadapi.

Saat membangun kalimat aktif, tentunya aku tidak bisa menggunakan imbuhan me- dan ber-. Saat ingin menyampaikan informasi komparatif, aku tidak bisa menggunakan kata “lebih”, “sekali”, “terlalu”, “kelewat”, dan semua kata urut bilangan (awalan ke-). Ada juga beberapa kata yang tak punya padanan atau sinonim yang terbebas dari huruf E, sehingga bahkan konteksnya pun sama sekali tak bisa dipakai (contoh: “kemarin”, “sekali” (adverbia), “es krim”, “detik”, dsb).

Karena kalau dipetakan satu-satu masalah pemilihan kata ini bisa beranak jadi banyak sekali, kuputuskan untuk membaginya menjadi dua bagian:

  • Kondisi 1: Kata yang mutlak harus dihindari, dan
  • Kondisi 2: Kata yang bisa kuganti tanpa mengubah konteksnya.

Karena kata-kata yang termasuk kondisi 1 tidak bisa kukontrol, aku memfokuskan latihan pada kondisi 2. Dengan kata lain, setiap memikirkan kalimat, aku harus bisa mengambil jalan memutar agar kalimat yang dituangkan dalam tulisan tidak mengandung huruf E.

Contoh :

  • Kalimat yang terpikirkan: Sejak wabah Coronavirus menyerang[2], aku dan kakakku baru bertemu lagi kemarin[1]. Kami membuka acara dengan makan seadanya, dengan jarak dan napas yang diatur. Lalu kami menghabiskan malam berdua saja[3][4], sambil sibuk dengan buku bacaan masing-masing[4].
  • Kalimat yang dituliskan: Kakakku pulang tadi malam[1]. Baru kali ini kami jumpa lagi usai wabah Coronavirus diumumkan[2] WHO. Kami panaskan apa yang ada di kulkas saja, lalu makan dalam jarak dan napas yang diatur saksama. Saat sama-sama sudah mandi, kami duduk di ruang tamu[3]. Aku dan bukuku, kakakku dan bukunya. Inilah cara sunyi kami untuk habiskan malam-malam karantina[4].

Keterangan:

  1. Tadi malam adalah pengganti kata kemarin yang paling mungkin.
  2. Menyerang adalah kalimat aktif. Dalam konteks ini, kuubah kalimatnya menjadi pasif, dan subjek-objeknya kuubah. Di kalimat baru, aku menambahkan “WHO” sebagai subjek pelaku, yang tadinya tidak ada di versi “normal”. Sehingga predikat yang kurasa cocok adalah “diumumkan.” Perlu diingat, “dinyatakan” tidak bisa kupakai, karena kehadiran kata “dinyatakan” menuntut keberadaan kata sambung “sebagai”, yang juga harus kuhindari.
  3. Menghabiskan malam berdua saja terlalu tumpul. Kalimat itu kupotong menjadi beberapa bagian. Pertama, kutambahkan kalimat penyambung tentang mandi, karena mandi belum disebut-sebut di kalimat asalnya.
  4. Kemudian, potongan kalimat “sibuk dengan buku bacaan masing-masing” kuimprovisasi dan kususun ulang. Kata sibuk yang menjadi fokus utama kuganti dengan susunan kalimat yang sama sekali baru.

Jadi garis besarnya: meniadakan E bukan hanya soal mengubah kalimat aktif menjadi pasif dan mencari padanan kata di tesaurus, tetapi juga urusan menata ulang seluruh kalimat. Mungkin kita perlu coba dan salah berkali-kali sampai kita mendapatkan kalimat yang mengalir dengan enak.

 

Babak 13: PenutupAndai Tak Ada Pandemi di Antara Kita


Akhirnya, tantangan membuat paragraf tanpa huruf E di Quora itu sudah kujawab, baik dalam bentuk novel ini, maupun di Quora-nya langsung (catatan: jawabanku di sana juga tidak mengandung huruf E).

Seharusnya dengan demikian, PR-ku sudah tuntas hampir seluruhnya.

Mengulang yang tadi sudah kusebut, manusia memang hanya bisa berencana. Pasien COVID-19 pertama di Indonesia dikonfirmasi pada saat Cadl sudah memasuki tahap pengecekan layout terakhir. Status pandemi diumumkan WHO pada saat Cadl sedang masa preorder. Booksigning kulakukan saat Jakarta mulai kalut dengan persoalan jaga jarak, swakarantina, kerja dari rumah. Pengiriman buku berlangsung seiring melemahnya denyut mobilitas transportasi yang cukup drastis. Hanya dalam hitungan minggu, bulan yang kuharapkan menjadi bulan kelahiran yang baik buat Cadl justru menjadi bulan (jika boleh dibilang) bencana nasional.

Karena inilah, Cadl juga akan menjadi buku pertamaku yang tidak lahir di toko buku fisik, melainkan di toko buku daring saja.

Tantangan berikutnya adalah menanti bagaimana Cadl melewati masa pandemi ini, juga bagaimana kita melewati tahun suram ini dengan selamat. Di satu sisi, Cadl mungkin beruntung masih bisa hadir dalam bentuk cetak; tetapi di sisi lain, tutupnya banyak toko buku fisik dan keterlambatan pengiriman membuat buku-buku baru yang lahir di bulan Maret 2020 menghadapi cobaan yang serupa. Belum lagi pembatalan sejumlah acara book launchbook tour, dan ketidakpastian nasib sejumlah festival literasi. Sungguh waktu yang buruk untuk melahirkan buku; mengutip kata penulis Clarissa Goenawan dari Twitter-nya .

IMG_8419 2
Salah satu kebiasaanku adalah melakukan swalegalisasi atas buku sendiri. Aku menyebut eksemplar ini sebagai “alpha-copy“.

Walaupun sampai detik ini aku masih persetan dengan rating Goodreads, apabila kalian menyukai buku ini, silakan tandai dan beri ulasan di sini. Atau kalau kalian malas bermain di sana, kalian juga bisa mengulasnya di akun media sosial masing-masing; dan jika kalian suka, bolehlah biarkan aku mengetahuinya juga. Kalau kalian mau bantai buku ini, lakukan saja seperti biasa, seperti saat Matematika dan Kepala dibantai pun tak apa. Dalam situasi serba-tak-menentu ini, aku bahkan belum tahu apakah masih akan terus mampu menghasilkan produk di tahun 2021. Oleh karena itu dukungan kalian, apa pun bentuknya, tentu sangat berharga buatku.

Akhir kata, terima kasih sudah membaca perjalanan Cadl dalam 13 babak ini. Memang aku patah hati dengan semua situasi ini, tetapi kuharap kalian bisa menikmati perjalanan ini, juga menikmati bukunya (kalau bisa); dan sampai bertemu di buku selanjutnya (yang mudah-mudahan masih ada lagi).

 

See you,

Triskaidekaman

 

END

 


Baca juga bagian pertama, bagian kedua, dan bagian ketiganya.

2 thoughts on “Cerita-cerita Absurd di Depan Layar Cadl (bagian 4)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s