Cerita-cerita Absurd di Depan Layar Cadl (bagian 2)

Screen Shot 2020-03-08 at 15.53.59Selamat datang di laman spesial tentang tetek-bengek Cadl (2020). Laman ini adalah yang kedua dari empat bagian. Di sini kalian bisa memuaskan penasaran kalian tentang buku ini; mulai dari proses kreatif dan penulisannya, isi buku catatanku, dan hal-hal menarik lainnya. Sebagian mungkin sudah kalian ketahui dari tanya-jawab yang pernah kulakukan di media sosial pada paruh pertama Maret 2020 lalu, tetapi kali ini kuusahakan untuk menjabarkannya dengan lebih rinci dan runut. Ada baiknya kalian menyimak halaman ini setelah selesai membaca bukunya; akan tetapi jika belum, semoga kalian menjadi penasaran 😉

Demi kenyamananku (dan kebaikan kita bersama), aku tidak melenyapkan huruf E dari keempat halaman ini.

Selamat menikmati.

 


[bagian 1] [bagian 2] [bagian 3] [bagian 4]


 

Babak 5: Bintitan vs Zombie


Seperti yang pernah kubilang di Instagram, Cadl tidak pernah dipersiapkan untuk ikut sayembara. Awalnya Cadl hanya kurencanakan untuk menjadi buku ketiga, tidak lebih. Aku bahkan sudah menargetkan untuk selesai di bulan September, agar bukunya bisa terbit sebelum lebaran 2020. Namun, pada saat Dewan Kesenian Jakarta mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan sayembara novel lagi di tahun 2019, aku malah kebingungan. Pertama, bingungnya karena ini-kan-tahun-ganjil-tapi-kok-ada-sayembara-sih. Alias karena kaget. Kedua, bingungnya karena saat maklumat sayembara diumumkan pada akhir Juni, panjang draf Cadl sudah mencapai 28 ribu kata. Kalau kupaksakan dengan gaspol, sepertinya sih bisa ikut; pikirku waktu itu. Kenapa gaspol? Karena setelah kuhitung, ternyata jarak waktu antara maklumat sampai batas akhir pengumpulan naskah cuma 70 hari; padahal aku belum punya gambaran Cadl akan tamat di jumlah kata berapaan.

Jiwa sombongku mulai menitikkan air mata. Demi membuatnya berhenti menangis, aku mulai mengatur strategi untuk selesai pada akhir Agustus 2019, lebih cepat sebulan dari target awalku. Celakanya, pada awal Juli 2019saat lagi semangat-semangatnyaaku justru kembali menemukan kekacauan dalam plot. Akibatnya, aku harus membongkar kerangka dan mengulang dari nol untuk kelima kalinya.

M.A.T.I.L.A.H.

IMG_8407
Yang atas adalah coretan pada bulan Mei 2019, yang bawah adalah coretan pada bulan Juli-Agustus 2019.

Asli gaspol! Aku mulai merancang dan mencatat perubahan-perubahan yang mau kulakukan, sampai-sampai aku tak lagi peduli pada warna pen yang belang seperti foto di atas. Praktis, tak banyak yang kuingat di minggu kedua Juli 2019 sampai minggu ketiga Agustus 2019 itu. Yang bisa kupastikan terjadi hanyalah bahwa aku sempat beberapa kali tertidur saat proofreading, sempat merangkai kalimat dalam keadaan setengah-bangun-setengah-tidur, bolak-balik memastikan agar nama tunangan Lamin (emoji babi) tercetak dengan benar, hampir mengirimkan naskah yang kehilangan halaman 113-nya (oh God why this number again?), mata bintitan selama tiga-empat hari, sertatentu sajabolak-balik menekan Ctrl+F untuk memastikan bahwa huruf E benar-benar tidak ada sama sekali di dalam teks.

IMG_8408
Struktur bab pada pertengahan Agustus 2019. Struktur ini masih agak kepanjangan/bertele-tele, tetapi sudah cukup mirip dengan versi bukunya.

Akhir Agustus 2019, setelah tujuh bulan lebih, ternyata draf Cadl bisa selesai juga sebelum deadline Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019. Setelah mengirimkan naskah ini ke lomba tersebut, aku memilih melupakannya saja, sambil mengistirahatkan punggung yang sudah sangat kelelahan.

 

Babak 6: Saya lembur, Bu, tidak bisa datang….


Sadar sepenuhnya bahwa distopia bukanlah budaya kita, juga bukan saudara lokal yang arif; aku tidak berekspektasi apa pun setelah mengirimkan naskah ke panitia. Bahkan aku berpikir naskahnya tidak pernah sampai, karena panitia tidak pernah mengirimkan surel konfirmasi atau semacam itu di bulan September. Menulis lipogram itu ternyata sangat melelahkan jiwa raga, membuat bintitan pula; sehingga September sampai November 2019 lalu praktis lebih banyak kugunakan untuk fokus ke pekerjaan sehari-hari saja, ketimbang menulis. Sampai-sampai dari Nanowrimo pun aku mangkir.

Di akhir November, saat aku sudah bersiap menyentuh Cadl kembali untuk proses tulis ulang, panitia sayembara tiba-tiba menelepon dan mengaku meminta seluruh peserta yang mengirim untuk hadir di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Aku menolak dan mengatakan bahwa hari Rabu 4 Desember itu aku lembur—padahal tidak. Panitianya malah bertanya balik, apakah Mbak tidak penasaran dengan hasilnya. Dengan gaya deadpan yang kupelajari dari Bertram Gilfoyle di Silicon Valley, kubilang saja Tidak—karena ya itu tadi; aku sudah tahu bahwa distopia bukanlah budaya kita, juga bukan saudara lokal yang arif. Aku seratus persen yakin bahwa masuk unggulan pun rasanya di luar jangkauan. Kuabaikan sajalah. Walaupun lokasi perhelatannya dan alamatku sama-sama di Jakarta, kurasa malas hadir adalah manusiawi. Ditambah pengalamanku saat masih culun-culunnya dulu; dipanggil panitia lomba menulis di platform dengan embel-embel “ambil hadiah”, tapi nyatanya cuma juara bontot dan hadiahnya cuma kupon voucher yang tak bisa diuangkan dan akhirnya kuberikan ke orang lain. Jadi aku membulatkan tekad untuk mangkir saja. Panitia jengkel dan telepon ditutup. Kupikir urusanku selesai sampai di situ.

Eh, tidak juga. Ternyata panitianya menghubungiku lagi.

Dua hari kemudian, mereka mengontak lewat WhatsApp. Waktu kutanya apakah aku benar-benar harus hadir, mereka malah menyebut kata “perwakilan”. Aku butuh dua hari untuk menimbang-nimbang. Seumur hidup aku jarang memenangkan apa pun; jadi aku sudah menerima nasib disebut-sebut sebagai manusia-hampir, pelanggan-shortlist, atau sejenis itu. Yang ada malah aku kepikiran, jangan-jangan aku dipanggil untuk dipermalukan (memang otakku isinya kebanyakan hal-hal negatif, sih). Namun, setelah bertanya ke tiga-empat orang, kuputuskan untuk datang saja. Siapa tahu dapat stirofoam, kan, seperti di Universitas Negeri Semarang dulu.

Dengan tululnya, setiba di lokasi acara, aku bukannya langsung masuk. Aku malah mengurus kerjaan sebentar (kok sempat?), lalu bengong di taman terbuka sampai setengah jam lebih. Aku khawatir bertemu orang-orang tertentu, apalagi orang-orang yang kutahu gemar atau pernah menertawakan. Uh, rasanya benar-benar cemas. Aku baru masuk ke Teater Kecil pada saat di luar sudah penuh geledek lantaran mau hujan.

Singkat kata, setelah penampilan musik yang berhasil melenyapkan rasa senewenku, setelah pidato-pidato pertanggungjawaban yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri, tibalah waktu pembacaan pemenang. Waktu juri menyebut naskah distopia dengan restriksi yang menimbulkan sejumlah masalah di antara deretan naskah yang menarik perhatian juri, aku malah tertawa sendiri. Pikiranku hanya terfokus pada sejumlah masalah, yang mana aku sangat yakin pasti masalahnya cukup besar-luas-dan-dalam; sampai-sampai juri tidak bisa lagi menjabarkannya satu per satu. Saat aku sedang memikirkan ceritanya harus ditulis ulang seperti apa, tahu-tahu kok para juri memanggil nama-nama para pemenang dan unggulan untuk naik ke panggung. Wah, apaan ini? Memang sih, naskah-menarik-perhatian-juri tidak diganjar stirofoam seperti halnya para pemenang; tetapi berdiri di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki kan, tetap bisa dianggap sebuah pencapaian Foursquare yang boleh dibanggakan.

3e18d96b-7119-4f55-975e-10db44b4d4aa_43
Foto dari Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 4 Desember 2019, sesuai yang dimuat situs detik.com. Tentu kalian sudah tahu aku yang mana.

 

Babak 7 (intermezzo A): Cadl ini ceritanya tentang apa sih?


Wiranacita memisahkan diri dari Pratanagari pada tahun 2000. Sayangnya, dalam dua puluh tahun berikutnya, tidak seperti Pratanagari, tak satu pun anak bangsa baru ini yang namanya terdengar di dunia internasional. Diktator Zaliman mulai memburu kambing hitam. Dia salahkan budaya rakyatnya yang gemar menamai bayi mereka yang baru lahir dengan kata-kata dari kebun binatang, atau dengan nama bagian-bagian tubuh di antara pinggang dan dengkul. Saat usahanya tak kunjung membuahkan hasil, dia malah menubuatkan larangan baru lagi: meniadakan huruf E dari seluruh bentuk komunikasi di negaranya.

Lamin adalah satu dari sekian banyak warga Wiranacita yang bingung dengan logika sang diktator. Pemuda lulusan bisnis yang ingin menikahi tunangannya itu hidup dari berjualan pisang. Saat ekonomi mulai seret dan pemerintah seperti membiarkan saja, Lamin mengetahui gosip dari kawan sesama penjual pisang tentang sebuah buku karangan Bagus Prihardana yang membuat pisang dagangannya bertambah laku. Alih-alih fokus pada teori-teori bisnis yang pernah dipelajarinya sambil lalu di bangku kuliah, Lamin justru memilih melamar menjadi pramuniaga di suatu toko buku demi mencari buku yang digosipkan itu, dan demi menyelamatkan bisnis pisangnya.

Lamin mulai menemukan titik terang soal buku itu. Dia bersikukuh untuk mengejar titik terang itu sampai dapat. Sayangnya, dia tidak sadar bahwa tindakannya—sama seperti huruf E—dianggap sebagai tabu yang sangat tidak disukai oleh Diktator Zaliman.

Kira-kira begitulah isi cerita bagian awalnya. Selanjutnya bagaimana, bisa kalian baca sendiri 🙂

Sebagai petunjuk tambahan, menurut ulasan ringkas dari Podcast Buku Kutu di Twitter, membaca buku ini seperti gabungan antara 1984 (George Orwell, 1949), The Silkworm (Robert Galbraith, 2014), dan Gadsby (Ernest Vincent Wright, 1939). Mungkin gambaran semacam ini juga bisa membantu kalian mengira-ngira seperti apa cerita Cadl ini.

 

Babak 8 (intermezzo B): Apa perbedaan karakterisasi tokoh-tokoh di Cadl kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh di Cara Berbahagia Tanpa Kepala dan Buku Panduan Matematika Terapan?


Jawaban pendek:

Karakter-karakter di Cadl kubuat lebih berespons terhadap keseharian kita, sementara Matematika dan Kepala lebih didominasi karakter yang mau-maunya-dia-sendiri-aja-nggak-relate-ya-bukan-urusanku.

Jawaban panjang:

Secara umum, di Matematika dan Kepala aku lebih menonjolkan ketidakpedulian si karakter terhadap stimulus eksternal (atau lingkungan); sedangkan di Cadl aku lebih membuat mereka responsif atas stimulus tersebut. Berbeda dengan Prima (Matematika) yang selalu sibuk sendiri dengan pertanyaan dalam pikirannya, atau dengan Sempati (Kepala) yang selalu sibuk sendiri dengan masa lalu dan kegalauannya, Lamin dan Zaliman (Cadl) lebih berorientasi ke luar diri mereka; lebih tepatnya ke nilai-nilai dalam masyarakat tempat mereka hidup. Lamin memiliki ciri utama medioker-tapi-kepo, sementara Zaliman memiliki ciri utama muka-dua/standar-ganda. Zaliman yang menetapkan nilai dengan kewenangannya, kemudian Lamin berespons. Respons Lamin ini membuat Zaliman berespons balik. Demikian seterusnya. Aku tidak menjamin Lamin dan Zaliman sama-sama mengalami perubahan antara awal dan akhir cerita, tetapi yang kufokuskan adalah bagaimana sikap satu pihak memengaruhi sikap pihak lain. Hal inilah yang coba kulakukan lebih intens daripada saat mengerjakan Matematika maupun Kepala.

 


Bersambung ke bagian ketiga.

Baca juga bagian pertama dan bagian keempatnya.