Saya suka segala hal tentang suara Sari: kombinasi serak dan sengau yang saya rasa seksi sekali. Saya selalu senang kalau jam siarannya sudah mulai: dari langit sempurna gelap sampai embun berdatangan pagi-pagi. Kebanyakan dia bicara saja dan bukan menutupi pakai lagu, dia bacakan berita-berita kemarin saja dan bukan berkejaran demi mengumumkan berita baru. Sari mengulang-ulang saja kalimatnya; propaganda, kurasa; pedagogi, kurasa; disuruh orang, pastinya. Beberapa nama lancar disebutnya. Beberapa tempat, beberapa kenangan, beberapa target. Saya tak mau tahu apa yang Sari bicarakan dan mengapa dia bicarakan itu. Saya rela tidak minum tidak makan tidak dilumas berhari-hari, atau juga tak perlu jalanlah beberapa hari, kalau saya bisa terus mendengarkan suara Sari.
Suatu hari, Sari tidak siaran. Penyiar penggantinya, yang sedari sore sibuk memutar lagu-lagu barat kelabu, bilang bahwa dia sakit. Kernet satu dua dan tiga bertanya, saya jawab lempeng, “Sari sakit.” Mereka tak puas. Suara penyiar pengganti itu mereka keraskan, sampai separuh terminal bisa mendengar. Tak biasa: penyiar laki-laki itu menyampaikan berita, paling kini, tentang penangkapan. Penangkapan apa atau siapa, saya tak paham. Di dekat saya, kernet-kernet saling sikut kepengin maju. Telinga mereka terpasang antara dua kutub: seperti panji dan seperti panci; sementara saya terjepit di tengah-tengah, megap-megap menjulurkan antena.
Gelombang penasaran masih terus datang. Iklan operator telepon genggam yang tukang curi pulsa, disambung iklan layanan masyarakat tentang aturan jam malam. Bulu kudukku meremang, seiring semua kernet diam kerontang. Ketika penyiar pengganti buru-buru menyudahi iklan ketiga yang baru saja mulai, kami semua tahu. Ada sesuatu.
Benar. Ada sirene mobil polisi datang. Tidak cuma satu. Hampir dua belas. Yang mereka teriakkan sama: “Radio! Radio! Musnahkan Radio, pusat penyebar berita kebencian!” Semua kernet tunggang-langgang. Semua lupa pada saya. Tanpa sadar, air mata saya berhamburan, seiring sadarnya saya: saya baru dicari hanya ketika kernet ingin mendengarkan saya, dan saya langsung dilupakan ketika polisi hendak membunuh saya.
Dalam hitungan detik, saya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Beberapa seringai polisi tampak di bawah, berlawanan dengan arah antena saya, dan saya tak bisa berbuat apa-apa. Siaran yang berkumandang lewat tubuh saya belum selesai. Penyiar pengganti itu terdengar sedang tunggang-langgang juga, diteriaki “Radio! Radio! Musnahkan Radio, pusat penyebar berita kebencian!” ketika sebuah erangan yang tadinya jauh, makin dekat, makin dekat….
…dan sekarang erangan itu bernyanyi, mengantar remuk badan saya menuju tidur.
Saya suka segala hal tentang suara Sari. Setelah sadar saya segera mati dan Sari yang bernyanyi buat saya, saya senang sekali.
Jakarta, 29/05/2018, 393 kata. Prompt Ramadan #7 di komunitas Monday Flash Fiction, kata kunci “radio”.