Es Cokelat Mick

Sejak Mick dititipkan sekamar dan seranjang denganku, aku selalu bermimpi aneh. Sudah empat malam berturut-turut. Di dunia mimpi, aku dan Mick sama saja dengan versi dunia nyata, hanya saja ada tiga perbedaan besar: satu, kami jadi anak kecil lagi; dua, di bawah kami cuma ada kasur yang teramat luas dan tak habis-habis; dan tiga, gravitasi di sini tak sekuat biasanya. Alhasil, yang kami lakukan tiap malam—dalam mimpi, tentunya—juga sama terus: melompat-lompat melawan pegas kasur. Siapa yang melayang terlama, dia yang menang; dan yang menang wajib mentraktir yang kalah dengan es cokelat.

Empat hari berturut-turut, Mick mudah sekali dikalahkan. Dalam mimpi dia pun duduk di kursi roda, sama dengan di dunia nyata. Aku berhasil melayang di udara hingga tujuh detik, sementara Mick masih merangkak sehabis jatuh berkali-kali. Sesekali dia meratap agar aku tidak menginjak dan mengeset di atas rekor buruknya terus. Aku tak indahkan ratap Mick itu, nikmat di atas seluncur es cokelat ke dalam mulutku. Skor semalam delapan detik lawan sedetik-pun-tak-ada dan aku sedang menyuap es cokelat, sewaktu dia tersungkur ditimpa kursinya sendiri. Usai tertawa hingga menitikkan air mata dan sakit perut melilit, baru kusodorka sesendok buat Mick. Tak biasanya, Mick memalingkan muka, tak mau menjawabku. Begitu saja, dan aku terbangun.

Baru saja, mimpi sama kembali lagi. Aku dan Mick bersiap lomba lompat kasur untuk kelima kalinya. Hari ini Mick tampak beda. Selain muncul dalam posisi berdiri, tanpa kursi roda dan tanpa tongkat, Mick mendingin. Sedingin es cokelat, dia tak berkata apa-apa: mohon, aduh, tolong. Benar-benar tak biasanya. Giliran pertama, aku yang melompat, delapan detik lebih sedikit. Gantian Mick. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh… dia masih melambung dan belum ada tanda akan kembali. Aku memejam dengan panas malu yang tak tertahankan.

Dan aku terjaga.

Mick tak ada di sebelahku. Tinggal kursi rodanya yang menganggur. Pintu balkon terbuka, padahal berani sumpah semalam sudah kututup. Sambil menahan gejolak tak enak dalam perut, aku terburu berlari ke pegangan balkon, mengabaikan kibar-kibar angin gasal pada kerai.

Ada selembar kertas menempel pada pegangan balkon. “Esnya ada di dapur.” Sepele, tetapi cukup membuatku bingung aku tengah ada di dunia mana. Dengan enggan, aku menoleh ke bawah, dua puluh lantai menuju tanah.

Di atas aspal keras, Mick menyeringai padaku. Di kepalanya ada kucur seperti longsor. Seperti es cokelat yang biasa kusuap.


Jakarta, 28/05/2018, 373 kata. Prompt Ramadan #6 di komunitas Monday Flash Fiction, kata kunci “kasur”.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s