Pengkhianatan dalam Tujuh Ratus Kata

Untuk kali pertama dalam hidupnya, gadis itu melihat. Ketika dahinya lepas dari pelukan lutut, yang dilihatnya pertama ialah gelap yang berangsur remang. Kedua ialah remang buram yang berangsur nyata. Ketiga ialah nyata lantas berbeda antara padang dan bulan. Rumput dan kembang dan cercah menghampar gelap nun jauh di bawah, bulan dan pelesatan bintang bergelantungan di atas jumantara ungu. Rumput itu tajam, kembang itu tumpul, bintang itu cepat, bulan itu bulat dan senyum. Purnama, kata mereka.

Gadis itu luruskan kaki, tangan, punggung, dan menapak. Rumput tajam menyambutnya. Karena rumput itu tajam jadilah telapaknya terluka-luka. Meraung-raunglah dia. Datang kembang untuk teteskan sarinya ke atas luka gadis itu. Datang juga sungai untuk teteskan air mata duka citanya ke sana. Ada yang memanggil gemintang berjatuhan, menyinar terang pada merah gelap darahnya. Rumput tertunduk malu dan minta maaf. Gadis itu meringkuk lagi. Dahinya mau dia benamkan lagi dalam pelukan lutut.

Lalu dia yang bersinar terang, paling terang di langit, menyibak-nyibak kawanan awan. Lantas menyapa gadis itu.

Dia Purnama. Sang bulan yang memacak di ubun-ubun gadis itu ketika hari pertama dia melihat.

Dengan sinarnya yang danta dingin, dia panggilkan beberapa gadis yang serupa sebangun sama sisi dengan gadis itu, yang betisnya juga terbaret-baret dan kelim celana di lututnya tercompang-camping. Mereka semua menghampar di padang luas, minum segar dari belaian hangat sungai dan makan langsung dari daging buah ranum dan ranting pohon rindang kala Purnama bilang ingin jalan-jalan sebentar karena bosan. Dia menitipkan sepotong kunci pada gadis itu. Gadis itu bertanya kunci apakah itu. Purnama cuma menjawab singkat. Itu kunci untuk membebaskan bunga dari gerumbul kelopak yang hangat, agar putiknya mencuat. Gadis itu belum juga paham tetapi Purnama pergi juga.

Gadis itu kembali bermain. Dia penasaran di manakah letak bunga dan kelopak yang dibicarakan Purnama. Gadis itu panggilkan sebatang pohon baobab, minta ditunjukkan arah perihal anak kunci. Sungai datang dan bilang jangan, meronta-ronta dalam kecipak demi baobab paham dan lebih baik bungkam saja. Bintang berkerumun berembuk minta waktu tambahan. Hara di bumi dan embun di daun balik badan. Gadis itu menuntut tanpa jemu. Sungai dipanggil gadis-gadis lain yang ingin mandi pagi. Bintang-bintang juga dipanggil ke rumah-rumah untuk mendengarkan potong-potong doa pagi. Tinggallah baobab, renta dan lupa wejang-wejang dari Purnama. Dia tuntun gadis itu ke sebuah palang.

Sesuatu di seberang palang itu indah. Tak cuma rumput dan gadis-gadis lain di sana. Banyak gedung bertingkat. Banyak manusia-manusia bertubuh kekar, kedang, tegap, pejal, sensual. Banyak peranti bertebaran. Banyak kereta berselang-selingan. Namun tak ada sungai. Tak ada juga padang rumput, gadis-gadis, bahkan baobab lain. Gadis itu menoleh pada baobab dan bilang dia sungguh ingin ke sana. Diam-diam saja. Hanya mereka yang tahu. Dia buka genggamannya, dia pasangkan kuncinya, dan bebaslah dia selamanya.

Gadis itu berlari dengan rasa yang dia pikir sepuasnya. Dia mencomot gelas, mengisi sendiri dari keran, minum sepuasnya. Lalu dia menggelayut pada sesosok manusia, memeluk dan mencium sepuasnya. Lalu dia masuk ke kendaraan, menyuruh-nyuruh tak tentu arah, masih dengan sepuasnya. Lalu dia turun dan memilih-milih rumah mana yang kira-kira patut buatnya, tentulah dengan sepuasnya.

Tak lama, gadis itu tersadar.

Jumantara yang tadinya luas, mulai mengecil. Mungkin dia yang membesar. Tungkai dan tungkainya mulai pampat. Tengkuk ke ubun-ubunnya kian lesak. Ada beberapa yang datang, tunjuk-tunjuk mukanya, bilang dia perompak. Apa-apa main minum saja, tidak bayar. Apa-apa main peluk saja, tidak beradab. Apa-apa main naik saja, tidak bayar ongkos pula. Apa-apa main masuk saja, seperti maling.

Lalu kaki dan tangannya terbelenggu.

Malam tiba. Purnama kembali. Dia mampir di belakang gadis itu, menumpang permisi saja. Sekelebatan saja. Belenggu itu dia lepaskan. Gadis itu dia persilakan mengendap-endap kabur. Kepada Purnama, gadis itu memohon minta dipulangkan ke padang dan bulan. Purnama menggeleng.

“Kamu pengkhianat. Kamu sudah salah gunakan kunciku.”

Purnama pergi dan gadis itu terkapar. Pingsan. Atau mungkin juga dia tidur.

Keesokan harinya bukanlah hari Purnama lagi. Untuk kali kedua dalam hidupnya, gadis itu melihat. Ketika dahinya lepas dari pelukan lutut, yang dilihatnya sama persis seperti kemarin. Namun sedikit beda. Semua lebih kecil, semua begitu jauh, dan semua begitu kering. Lengang. Tenang.

“Hei,” sahut sepucuk terang di sebelahnya.

Itu Bintang.

“Mana Purnama?” tanya gadis itu.

“Itu,” tunjuk Bintang pada gadis yang tengah berbisik dengan baobab, “Jadi? Bagaimana rasanya pengkhianatan?”

Gadis itu diam dalam danta dinginnya.

Dia tak peduli lagi apakah dia Purnama atau bukan.

 

 


[Jakarta, 23/02/2018, 700 kata. #NulisKilat 23 Februari 2018, tokoh utama perempuan, kata kunci Purnama, kalimat pertama “Untuk kali pertama dalam hidupnya, gadis itu melihat….”]

One thought on “Pengkhianatan dalam Tujuh Ratus Kata

Leave a comment