Dengan takzim kupandangi benda itu. Dia baru selesai dirakit sepasang tukang, terpajang begitu saja di pojok ruang tidurku yang usang. Kucoba satu-satu isinya. Semua jalan, semua nyaman. Aku membayar separuh kontan separuh cek. Memang lantas habislah tabunganku. Sama seperti badanku. Juga umurku. Jangan salah. Aku sudah menimbang semuanya: pakai hati, pakai kalkulator, pakai timbangan. Aku sudah mantap.
Awal mulanya sederhana saja: kupingan yang tak pernah kusengajai.
“Giliran dia kapan? Aku capek mengurusnya. Bujangan tua tak berguna. Coba saja dia punya anak yang mau mengurusnya!” seru pengasuhku—yang saban hari memandikanku memakaikanku baju menyuapiku serta membantuku buang air—kala dia pikir aku tak dengar ocehannya dari balik jendela.
“Dia bisa saja pakai depositonya buat sewa ginoid. Biar ginoid itu yang piara dia sampai dia jadi debu,” sahut suara yang satunya. Ini perawat yang biasa datang kepadaku seminggu sekali untuk mengganti perban dan menyunduk jarum infus.
“Bukankah kamu bilang dia sudah tak punya harapan?” Mereka lanjut bercakap, tanpa tahu telingaku—yang masih tegap—masih bersigap.
“Benar. Kata dokter, umurnya paling tinggal dua bulan lagi.”
“Sudah, kaubaik-baiki saja dia. Siapa tahu warisannya yang bejibun itu jatuh kepadamu.”
Ada lagi.
Tamu satu. Datang langsung ke depan mataku.
“Tuan, kami dari Yayasan Penyembah Literasi. Kami tahu Tuan punya begitu banyak buku koleksi pribadi. Kami bermaksud untuk….”
Kuingat tumpukan buku yang dulu pernah kupamerkan di Instagram. Ternyata yang melihat dan terkesan bukanlah penulisnya, bukan juga sesama penyuka buku, melainkan kawanan burung pemakan bangkai. Kuusir mereka, bahkan sebelum kalimat pertama berhasil mereka tuntaskan.
Tamu dua. Menyahut-nyahut di telepon seperti perkutut.
“Tuan, kenapa tidak datang lagi? Kami butuh Tuan! Tidak ada relawan lain yang cekatan seperti Tuan. Kami sungguh rindu, Tuan! Kapan datang lagi? Atau kalau tidak, kirim uang saja. Pakai transfer kan bisa, ke nomor rekening…. Sebentar….”
Mereka mengaku mengharapkan bantuan yang tulus. Namun, rupanya mereka tak tulus kehilanganku ketika ketiadaan empat jari kaki dan munculnya borok di bokong yang tak sembuh-sembuh membuatku tak bisa berjalan jauh lagi. Kututup telepon sebelum dia kembali. Biar saja.
Begini.
Mereka tahu aku akan mati. Aku tahu uang tak bisa kubawa mati. Lebih baik, kusimpan saja uangku di suatu tempat, supaya mereka tidak tahu akan mengapakan aku setelah aku mati.
Cara yang cerdas, bukan?
Maka, kuteleponlah sepasang tukang itu.
*
Dia menyurel, tak kubalas.
Dia menelepon, tak kuangkat.
Dia mengirim bunga, tak kuucap terima kasih.
Ketika dia memutuskan nekat mendatangiku, aku bergeming. Tak bisa berbuat apa-apa selain meluluskan paksaan pembantuku yang cuma datang di Senin dan Kamis pagi. Dari mana dia tahu hari-hari kapan pembantuku ada dan tiada? Entahlah. Aku sudah lelah untuk berpikir seperti detektif.
Kalimat pertamanya sesuai dugaanku.
“Kenapa kaudiamkan semua surelku? Teleponku? SMS-ku? Kenapa tidak kaujawab? Aku peduli padamu. Sungguh peduli. Makanya aku nekat saja datang.”
Alih-alih menjawab, kupalingkan mukaku ke jendela, menonton burung-burung yang meningkahi jatuhnya dedaunan.
“Jawab aku.”
Perlahan kupalingkan muka ke mukanya. Muka yang tak asing tetapi terus otakku tolak demi kedamaian batin dari kecamuk perasaan. Jenis kelaminnya beda denganku, tetapi rautnya mirip aku… yah, tiga puluh lima sampai empat puluh lima persen. Tak lebih. Warna rambutnya beda denganku. Tingginya jauh lebih dariku. Namun kekerasan hatinya mirip aku. Itulah kali pertama aku menyimak fisiknya setelah dua puluh tahun.
Kusempatkan penasaran akan siapa ibunya menyisip di benak. Pastilah cantik.
Dua puluh tahun, tetapi aku masih ingat namanya. Nama asli, nama panggilan. Sekali sebut sudah cukup, karena aku belum (dan tak akan sempat) pikun.
“Aku tak bisa, Nami.”
“Bohong. Kau tak mau, kan?”
Beberapa daun limbung dari ranting. Menunggu nasib, menunggu mati. Sama denganku.
“Aku ke sini bukan untuk minta apa-apa. Minta harta? Ah. Aku sudah tahu kalau mereka-merekalah yang lebih berhak. Minta pengakuan? Aku tahu keras kepalanya kau. Aku mungkin mendapatkan sifat ini darimu.”
Aku mendelik padanya.
“Maaf,” tunduknya, tetap tegar, “aku tak bermaksud….”
“Jangan sebut-sebut itu lagi.”
“Aku tahu.”
“Jadi?”
“Aku cuma ingin tanya soal benda itu.”
Aku menjengit sembari melihat arah telunjuknya. Ke pojok kamarku. Ke benda itu. Buru-buru kubalas dengan kedikan dua bahu.
“Untuk apa kaulakukan itu?”
Kembali, aku diam. Kupalingkan mukaku ke jendela, lagi dan lagi. Dari samping tempat tidurku, kudengar suara derit kursi yang baru dia tinggalkan, langkah-langkahnya yang cepat, dan kelebat gerak tangkasnya. Lalu cengkeraman tangannya pada tanganku. Kanan dan kiri.
“Untuk apa, Ayah? Kau lupa ada aku?”
Aku terlalu lemah untuk berpaling lagi. Tenagaku habis.
“Bukan begitu, Nami.”
“Lalu?”
“Aku… c-cuma tak mau jadi korban. Semacam bangkai yang dipanen.”
Anamnesis mengernyit. Memicing. Lalu mengendurkan cengkeraman sedikit.
“Lepaskan, tolong,” pintaku. Agak merintih, mungkin. Anamnesis menurut.
“Nami, aku tak punya siapa-siapa. Kamu tahu kamu itu milik ibumu. Aku cuma penyumbang sperma anonim yang kemudian jadi bernama karena kamu berhasil melacakku lewat aplikasi genetik. Aku tak berhak mengakuimu. Sementara mereka… mereka tahu aku tak punya siapa-siapa, jadilah mereka menungguku cepat mati saja. Toh waktuku juga tidak lama lagi. Jadi, anggap saja benda itu sebagai kenang-kenangan,” tunjukku ke pojok ruangan.
“Maksud Ayah?”
“Aku akan menghabiskan waktuku di sana. Tenang dan nyaman. Kamu kan tahu kalau mati itu hanya perkara pindah tempat. Nah, aku mau pindah ke…. Ke sana. Tolong, Nami.”
Anamnesis bergegas menghampiri peti mati termutakhir itu. Dia buka kedua daun pintunya. Ada kasur pegas paling nyaman, bantal empuk, selimut hangat. Pemanas mungil. Kulkas mini. Bak mandi. Pancuran air. Seperangkat televisi dan video. Sebundel cakram film. Rak buku. Poster perempuan-perempuan cantik. Jendela dengan wallpaper dusta. Banyak lagi.
Dia paham sekarang.
Dia membalik badan, bertanya padaku.
“Memangnya, waktu Ayah seharusnya kapan?”
Kuceritakan bahwa aku sudah kalahkan prediksi dokter, juga gunjingan perawat. Dua bulan jadi lima bulan dan masih terus, meskipun luka bokongku sudah berbelatung dan analgesik suntikku terus sinambung. Aku terus menderita dan Anamnesis tak tega.
“Ayah harus ingat aku di sana. Harus.”
Aku mengangguk, mengaku kalah.
Jadilah dia menggendongku susah payah, lalu membaringkanku ke dalamnya. Tak lupa dia titipkan pas foto berwarnanya yang terbaru, tepat di silangan dua tanganku di dada. Dia rapalkan doa terindah waktu isi jarum itu didorongnya masuk ke darahku, mengantarku ke perjalanan terjauh, dalam kereta surga ini.
Aku akan baik-baik saja, katanya.
Dalam pekat kantukku, aku percaya saja, abai akan seserapah mereka yang bukan dia.
Lalu memejam selamanya.
(Jakarta, 11.02.2018. 999 kata)
Trivia:
1. Ginoid = android wanita
2. Anamnesis = (Gre) kenangan. Istilah ini lebih sering dikenal di kedokteran, yang artinya “proses wawancara oleh tenaga medis untuk mendapatkan] riwayat kesehatan pasien”.
3. Inspirasi/interpretasi bebas atas puisi “Di Toko Peti” (buku puisi Belajar Melucu dengan Serius, Hasta Indriyana, GPU/2017) dan lagu Banda Neira “Sampai Jadi Debu” (album Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti, 2016).