Kami tutup jam sepuluh. Luka itu terbuka jam sepuluh lewat lima.
Awalnya tidak sakit, seperti biasa. Tanganku tergelincir saat merapikan piring dan cangkir. Garpu dan pisau berdentingan karena kutumpuk saja sembarangan. Tanpa kusadari, ada satu pisau yang tergelincir. Coba kutangkap dengan telapak tangan, begitu lugunya. Memang pisau itu tak jadi membentur lantai. Namun telapakku yang terbeset.
Banda berteriak, berlari ke arahku. Lucunya, aku tak ingat apakah sebelumnya aku berteriak atau tidak.
“Naira! Kamu tidak apa-apa?”
Jujur, aku belum pernah teriris pisau selebar itu; meskipun aku sering menyaksikan orang teriris di film-film. Belum pernah menyaksikan darahku sendiri mengucur dari luka seperti itu; meskipun aku sering mendengar kisah-kisah penuh darah dari berbagai penjuru. Aku tidak tahu apakah aku akan kehabisan darah. Aku tidak tahu apakah aku memang tidak apa-apa.
Jadi, aku tidak menjawab Banda.
Ia menggenggam punggung tanganku dari bawah. Keras.
“Naira, darahmu harus distop dulu. Nanti kamu kehabisan darah.”
“Kamu punya plester?”
“Luka segede gitu mau langsung kamu plester? Mana bisa, Ra….”
Memang logikaku sering macet kalau sedang bingung begini.
“Sebentar, Ra.”
Ia melepaskan genggaman. Dari gerak-geriknya, aku bisa menduga apa yang akan Banda lakukan. Sesuatu yang buruk, kalau sampai penyelia kami tahu.
“Banda, jangan! Bubuk itu baru datang kemarin….”
“Tapi, Ra? Kalau kamu sampai kehabisan darah, gimana?”
Aku disuruhnya duduk di meja nomor dua, sementara ia membuka tutup stoples yang baru kukemas kemarin sore. Harum. Menguatkan. Memberiku semacam energi baru. Lalu ia mengambil bubuk itu, sejumput saja. Ditaburkannya ke atas luka menganga di tanganku. Sejenak, kami sepakat bahwa jumputannya kurang. Ia mengambil lagi sejumput. Proses itu berulang hingga tiga kali.
Ajaib. Tak lama kemudian, darah berhenti menetes-netes dari sana.
Banda menghela napas. Ia mengempaskan bokong ke kursi di sebelahku.
“Kamu ceroboh amat.”
“Kamu juga sama.”
“Hei. Sekarang, jelaskan padaku apakah ada cara lebih baik untuk menghentikan lukamu itu?” deliknya. Ia memang sering begitu kalau kami berselisih pendapat. Aku nyaris selalu memutuskan untuk mengalah.
Tapi tidak, untuk kali itu.
“Ada jurnal ilmiah yang bilang,” ucapku pelan, “kalau bubuk itu justru memperlambat berhentinya luka. Kafein mengeluarkan zat tertentu yang menghambat regenerasi sel di sekitar luka.”
“Kata siapa? Buktinya? Lihat sendiri, Ra. Kamu terlalu textbook, sih, ah.”
Satu per satu toko tutup. Sementara kami belum selesai!
“Kamu bisa pakai kain di wastafel. Pura-pura jadikan itu bebat, Ban.”
Ia menggeleng yakin, “Kain itu tidak bisa menyerap darah.”
“Kamu tidak perlu kain yang menyerap darah. Kamu cuma perlu mengikat.”
Tak kusangka, Banda menarik kursi. Kami begitu dekat kini. Bisik-bisik pun, kami bisa saling dengar.
“Ra, kamu tidak perlu protes. Pakai alasan jurnal, segala. Kamu tahu tidak, jurnal lain yang bilang bahwa kafein justru bisa menyembuhkan luka?”
Ganti aku yang terdiam.
“Mau debat sampai besok pagi pun, kamu bisa benar, bisa salah. Aku pun,” ujar Banda sembari bangkit dari kursinya. Ia mendekat ke wastafel, jelas bermaksud melanjutkan mencuci shaker-nya. “Kamu tahu kalau aku pun takut didenda bos gara-gara aku mengambil bubuk tadi.”
Banda ini. Apa pun yang ia lakukan dan pikirkan, benar-benar tak pernah bisa kuprediksi!
“Heh?”
“Iya. Aku melakukan itu karena yakin cuma itulah satu-satunya cara cepat untuk menutup lukamu. Soal denda…. Ah, besok sajalah baru dipikirkan. Aku tinggal bilang aku menumpahkannya sedikit….”
Kami berpandangan.
Saling mencari jawaban.
Saling melupakan argumen.
Ya, kami bahkan lupa. Jam setengah sebelas. Antara siang atau malam.
[Jakarta, 04/08/2017, 537 kata. Diikutkan ke #NulisKilat dengan latar tempat coffee shop, genre romance]
[Penafian: Cara penanganan luka dalam cerita ini tidak direkomendasikan untuk ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Tetap ikuti prosedur P3K, dan hubungi instalasi medis jika luka cukup serius.]
[Referensi yang disebut Naira bisa kalian cek di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25041108%5D