Mense Terribilis

Bukan warna campuranku lagi yang kukhawatirkan. Bukan kanvasku lagi. Awalnya aku cuma tak ingin mengecewakan Lucy. Perintahnya jelas, masih begitu sampai hari ini setelah dua tahun berselang. Jangan perkenalkan dirimu. Kejermananmu. Karena ini Amerika. Sebut nama depanmu saja. Selesai. Kamu cuma pelukisnya, bukan siapa-siapanya. Tidak seperti aku. Tidak seperti … ehem … Eleanor.

Kamera Nicholas yang memotretnya telah diturunkan. Belum ada pengawal lain. Beliau masih duduk — begitulah caranya menghabiskan nyaris seperempat abad belakangan ini — dan menatapku. Lurus. Tajam. Senyata pisau meskipun tampak begitu rapuh. Akibatnya jelas. Bahkan aku tak berani memperkenalkan diri terlebih dahulu.

“Perkenalkan dirimu, Nona.”

Aku memang sedang menunduk, merapikan warna-warna cat air ini hingga sungguh siap. Kata mereka, jangan pernah lihat kakinya — kau akan menyesal kalau beliau sudah mendelikmu. Kunaikkan saja pandangan, hanya demi mendapati pasang mata yang lebih cekung dari dugaanku, dari foto yang kulihat dari Yalta minggu lalu.

Sesuatu. Ada sesuatu.

“Heidi,” aku menahan napas sesaat, “Heidi, Tuan Presiden.”

“Baiklah,” ucapnya tegas, seraya mendesah dan memandang keluar jendela. Beliau tampak begitu lelah. Aku sudah hampir menyuruhnya bersandar saja, sebelum tiba-tiba rentetan perintah Lucy kembali menyahut di dalam kepala. Alih-alih menunjukkan perhatian, aku hanya berkata, “Bisa kita mulai, Tuan?”

Beliau mengangguk. Segera beliau merapikan posisi duduk, terdiam, namun sama sekali tak tampak terkantuk atau lelah dan ingin menunduk. Sementara aku terus berpura-pura menunduk, berdalih cat air ini harus diaduk-aduk. Menit demi menit, beberapa pengawal silih berganti mengawasiku, seolah mau menengarai bulir keringatku satu demi satu.

“Heidi,” sahutnya mendadak, “aku lelah. Sebentar, aku perlu minum dulu.”

Seorang pengawal masuk membawa segelas air. Bening, pertanda itu air putih biasa. Namun bukan itu yang menarik perhatianku. Melainkan gelasnya. Aku bertemu dengan gelas itu tadi, tepat sebelum masuk ke ruangan ini.

Beliau minum. Tiga teguk, kuhitung. Itu cukup.

“Tuan Presiden,” sebutku perlahan, sembari terus mengitarkan tatapan ke selaksa gurat-gurat ringkih itu. Seharusnya, tanpa kusiksa pun, malaikat arit itu bakal segera datang, “kurasa dasi merah lebih bagus buat Anda. Lebih berwibawa.” Kali itu, aku tak berkedip barang sekali pun. Kurapal hitungan dalam hati. Begitu tiba waktunya, kubenamkan lagi mata pada kanvas dan cat air. Tak keluar-keluar lagi.

Sore tiba. Lukisanku masih lubang-lubang. Wajah Beliau bahkan belum rampung. Aku minta maaf, minta maaf lagi, sambil buru-buru berkemas sebelum tersandung. Ingin cepat-cepat lari saja. Aku berpapasan dengannya malam itu. Malaikat yang membawa arit dan menjulang tinggi. Ia mengangguk kepadaku, aku mengangguk kepadanya. Aku berjalan keluar Gedung Putih dengan kempitan dua pengawal, ia malah dibiarkan bebas berkelana sendirian di dalam tanpa pengawasan.

Ingat caranya, Heidi? Tatap ia lama-lama. Ia akan risau sendiri, sehebat apa pun dia. Ingat, tatapan dalammu akan melemparkan kekuatan mematikan. Kamu yang melempar, namun ia sendiri yang memutuskan untuk mati. Sakit. Bunuh diri. Kecelakaan. Takkan ada yang menudingmu, Heidi Manshoff, keturunan terakhir Merlin yang masih betah bersembunyi di Jerman Barat.

Lalu kudengar kisah selanjutnya. Emma Shoumatoff menggantikanku keesokan harinya, tanggal dua belas. Di tengah prosesnya melukis Franklin Delano Roosevelt — itulah namanya — Beliau kesakitan, tersungkur, pingsan, dan lalu pergi selamanya. Harry Truman disumpah sebagai presiden baru, sementara Emma Shoumatoff — ya, Emma yang itu — tak pernah muncul lagi.

Aku tersenyum kecut sendiri, sambil menuju pelabuhan udara. Aku harus cepat menuju Berlin, Jerman Barat — ya, negeriku sendiri — sambil membayangkan betapa jemu sayuran mengonggok dalam mangkuk sup vegetariannya.

Kamu pasti tahu siapa tujuanku selanjutnya.

 

 


(Jakarta, 09/06/2017, 537 kata. Cerita terpilih #NulisKilat 9 Juni 2017, tema Historical Fiction. Mense terribilis = bahasa Latin untuk “bulan yang buruk”, dalam hal ini April 1945.)

[Tokoh-tokoh nyata dalam cerita ini: Franklin Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Lucy Rutherfurd (1891-1948), Eleanor Roosevelt (1884-1962), dan Adolf Hitler (1889-1945)]

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s