Malam itu malam Thanksgiving, lima puluh tahun dari sekarang. Semua manusia yang tersisa di muka bumi menggelar ritual bicara dengan cermin, yang dipercayai dapat mengubah keberuntungan seseorang. Salah satu dari mereka adalah Dermot.
Dulu, Dermot adalah penulis yang pernah terkenal dengan kecepatannya menelurkan karya-karya baru. Dalam setahun, ia pernah menerbitkan hingga delapan novel sekaligus. Bayangkan, ia pernah seproduktif itu. Namun, dalam tiga tahun terakhir, ia baru menerbitkan lima. Kecepatannya yang kian turun memang dinyana karena faktor usia. Ada pula yang menuduh ia depresi. Namun, karena telanjur terlena dengan manfaat yang ia dapat dari mengetik dan menulis cepat, Dermot selalu saja khawatir bahwa dunia tulis-menulis akan meninggalkannya. Di samping stres yang ia derita, ia merasakan tekanan dari berbagai penjuru, seolah ia adalah sapi perah yang susunya selalu ditunggu konsumen, tapi tak pernah dipedulikan nasibnya. Tak heran, apabila Dermot tak pernah putus memanjatkan doa ingin sanggup mengetik dan menulis dengan cepat lagi, setiap saat ia ingat, setiap saat ia terjaga.
Malam itu malam Thanksgiving. Dermot berdiri di depan pintu utama rumahnya sendiri, yang begitu kuno namun megah; menggenggam kunci perak yang berukir begitu rumit. Rumah itu baru berani diinjaknya lagi setelah ditinggal wafat sang istri. Mengumpulkan segenap keberanian; ia mendaki tangga solid berbalut marmer terbaik sedunia, sambil sesekali menyingkirkan gelitik sarang laba-laba yang satu-satu menjuntai dari tepi tangga dan tiang-tiangnya, memasuki ruangan yang menyimpan sebuah cermin bulat besar.
Ia menarik kursi bulat, duduk di atasnya, tepat di hadapan cermin, lalu memulai omelan.
“Sylvia, Sylvia. Aku tahu kamu ada di situ. Aku tahu kamu pulalah yang mengambil kecepatanku agar aku lebih memperhatikanmu. Ah, tapi aku ingin, aku ingin kembali seperti dulu. ‘Kan kamu sudah tidak….”
Ia membatuk dua kali. Dermot sadar ia mengambil kata-kata yang mungkin keliru. Dirapalnya ulang.
“Sylvia, Sylvia. Aku tahu kamu ada di situ. Aku tahu kamu pulalah yang mengambil kecepatanku dulu, agar aku lebih memperhatikanmu. Ah, tapi aku ingin, aku ingin sekali, kembali seperti dulu. Aku bisa produktif lagi, sembari berusaha….”
Ah, salah lagi! Kesempatan terakhir.
“Sylvia, Sylvia. Aku tahu kamu ada di situ. Aku tahu kamu pulalah yang mengambil kecepatanku dulu, agar aku lebih memperhatikanmu. Ah, tapi aku ingin, aku ingin sekali, kembali seperti dulu. Aku bisa produktif lagi. Kamu juga bisa tenang di sana.”
Entahlah ini benar atau salah.
Sembari menantikan jawaban, kepala Dermot mulai berputar. Makin cepat dan makin cepat saja. Tanpa ampun, tanpa henti. Ia meletakkan kedua tangan, satu di kiri kepala, satu di kanannya, menutupi kedua telinga yang berdengung begitu kencang. Tiba-tiba, ia mendengar bisikan ganjil. Suara Sylvia, istrinya.
“Tiga kesempatan, tiga kali kamu salah. Aku tersinggung. Kamu ingin aku cepat-cepat mati? Aku pun.”
Dermot ingat semuanya. Perselingkuhannya. Kehamilan luar nikah. Anak haram. Tuntutan dari istri muda. Dermot lupa satu hal. Istrinya itu penyihir, dan ia baru sadar ia sedang dikutuk.
Detik berikutnya, kepala Dermot pecah berantakan. Keluar tiga pasang tangan dari penggal lehernya.
“Bagaimana? Sekarang kamu punya delapan tangan. Selamat mengetik, Sayang. Jangan lupa, aku menunggu buku barumu!” balas Sylvia, untuk terakhir kalinya.
(Jakarta, 22/04/2017, 490 kata. Monday Flash Fiction weekly prompt #138: Tangan-tangan. Gambar dalam teks ini diberikan oleh Carolina Ratri.)