Kuliah yang tak lazim. Tak ada layar lebar, proyektor, komputer, dan segala macam gawai hebat yang seharusnya fundamental. Ketika kami masuk, hanya terbentang aula berdinding putih polos, Hanya ada empat kursi, satu meja, tanpa perabot pemanis. Satu untuk Morales, sisanya kami bertiga, yang masih suka sembarangan mengatur letak duduk seperti anak kecil.
Meskipun aku diam, bisik-bisik Aaron dan Indira tak kuasa meredam rasa penasaran. Tak lama, Morales tergopoh masuk ruangan, membawa sebuah kotak kecil serupa kemasan pena mahal, yang dikempit bersama tumpukan buku-buku tebal. Tepatnya ia berjeda enam menit sebelas detik dari kami bertiga. Segera setelah ia duduk, Morales mengangsurkan sebuah mesin nirkabel lonjong kepada Aaron, dengan kode bahwa sehabis Aaron mencobanya, ia harus memutar giliran coba alat ke Indira dulu. Kemudian, baru akulah yang terakhir.
Aku melongok, berusaha mengalahkan rimbun kepala Aaron dan Indira yang saling bersisian dengan arah pandang Morales. Rupanya, lagi-lagi sebuah benda lonjong, tidak terlalu panjang, namun terlalu identik dengan beberapa alat lain yang pernah kami ciptakan selama ini.
“Aaron, silakan coba Histocheq-nya. Ini versi purwarupa satu. Tempelkan ujungnya ke benda apa saja di ruangan ini, maka kalian akan bisa melihat riwayat benda ini pernah menjalani proses apa saja.”
“Seperti WolframAlpha?” tanya Indira.
Histocheq. Aku pernah mendengar alat ini. Namun aku lupa di mana. Terlalu banyak purwarupa alat yang pernah kulihat, kupegang, dan kuujicobakan, membuat karat dan kerak di ingatanku terus bertambah.
Aaron takjub ketika menempelkan ujung Histocheq ke badannya sendiri.
Kelahiran 2041, asal distrik Chastelmann. Tinggi enam kaki satu inci, berat seratus empat puluh pon. Pernah patah lengan atas kiri di tahun 2058 dan mendapat implan titanium sepanjang enam sentimeter. Jadi vegetarian karena penyakit peradangan kronik di usus.
Aaron memicingkan mata, sementara aku menelan ludah. Benar-benar panjang, komprehensif, lengkap. Benar-benar menelanjangi.
Giliran Indira. Gadis itu punya inisiatif lain. Ia menempelkannya ke meja kaca yang kami kelilingi. Diciptakan di tahun 2052, perusahaan mebel produk silika ternama namun kelas kualitasnya banal semenjana, dengan kandungan silikon dioksida tujuh pulih persen. Kalau kena tempel benda panas dengan suhu seratus derajat Celsius tanpa jeda selama dua puluh menit, meja ini bisa retak sendiri.
Masih banyak lagi. Data yang kadang bermakna, namun lebih sering membingungkan. Termasuk di bawahnya; di mana ada sederetan angka tak terbaca menyoal depresiasi, nilai jual kembali, nilai pajak….
Ah, aku memang benci tetek bengek keuangan. Benci juga karena kebetulan giliranku sudah tiba. Benci karena belum tahu akan memilih benda apa.
Seakan tahu kebingungan apa yang kuhadapi, Morales menyahut, “Mason, giliranmu, ‘kan? Silakan pilih benda apa saja.”
Aku mengiyakan, namun pikiranku masih kalut. Jelas aku bukan Aaron yang dengan percaya dirinya berani menempelkan alat yang masih purwarupa ke badan sendiri. Aku juga bukan Indira yang begitu pasrahnya meletakkan ujung alat ke benda berkaki besar yang tak bisa bergerak-gerak seenaknya. Pandanganku berkeliling, hingga menumbuk sebuah benda lain yang juga mirip tespen, tergeletak di atas rak baja mengilap.
Kutempelkan dengan ragu, sambil berharap benda itu tidak mengeluarkan rentetan informasi yang tak ingin kuketahui.
Taser. Keluaran tahun 2056. Diciptakan oleh Martin Morales, dirancang rupanya oleh Aaron Azkerzhin. Muatan bisa diisi ulang dengan kabel khusus. Bisa mengeluarkan listrik 20.000 volt tanpa berisik, menjatuhkan lawan dalam sekali tusuk, tanpa sakit yang bermakna.
Morales terlihat pasrah, pura-pura melengos, sementara Aaron memekik, “Aku tidak menciptakan alat itu! Bayangkan, umur lima belas! Tahun ini aku baru delapan belas, dan baru mulai belajar pemrograman gawai tingkat sederhana. Tidak mungkin, tidak mungkin!”
“Ada Aaron Azkerzhin lain, barangkali,” celetuk Indira. Morales tak berdaya melawan, terlihat dari sikapnya yang terus diam.
Dalam hati, aku tahu itu tidak mungkin. Aku pernah bertanya ke mesin pemindai nama-nama orang di dunia ini, yang terkenal begitu piawai mengorek nama hingga potongan nama julukan yang paling receh sekalipun. Katanya, nama Aaron Azkerzhin di dunia ini cuma ada satu. Yaitu pemuda yang tengah duduk di hadapanku itu. Jadi jelas Aaron Azkerzhin yang dimaksud di profil taser itu adalah Aaron Azkerzhin yang ini.
Mata kami kembali ke pendar layar, menyaksikan beberan fakta demi fakta yang mengungkap rahasia-rahasia terdalam dari benda kecil itu. Bahwa tadinya benda itu pernah nyaris dijual ke Tiongkok, namun batal karena kekeliruan perhitungan pajak yang tak terselesaikan antara kedua pihak. Pernah juga benda ini tertelan oleh seorang pria raksasa, namun berhasil dikeluarkan setelah perutnya dibedah dan dibekap kembali dengan delapan jahitan. Ia pernah masuk ke kantong segel polisi, karena suatu sebab yang….
Oh. Baris terakhirnya membuat kami terperangah.
Peringatan: Jangan digunakan dekat jantung. Kasus yang pernah terjadi: Desember 2057, alat ini digunakan oleh Indira Batesman untuk membunuh Mason Grabbler.
Aku yakin aku tidak keliru. Indira Batesman di dunia cuma ada satu. Indira yang ada di sebelahku. Mason Grabbler di dunia ini ada dua. Satunya sudah mati sebelum aku lahir, dua puluh tahun yang lalu.
“Mason? Mason?” Morales berusaha menggapai-gapai kesadaranku, dengan suaranya yang kian terputus.
Hei, tunggu. Aku ingat, namanya Mason McGrabbler. Beda denganku. Berarti, bukankah seharusnya Mason McGrabbler di dunia ini cuma ada satu?
“Mason? Aku tidak bermaksud….”
Hal yang terakhir kuingat selepas ucapan Indira yang tak berujung, adalah bahwa aku memandangi mereka bertiga, lalu menampar diri sendiri.
Dan ternyata, ini semua….
[Jakarta, 25/02/2017, 826 kata. Versi ini adalah hasil pemanjangan dari materi kontribusi untuk SciFi Slam Analekta vol.02 dari Serana 42, 26 Februari 2017. Admonitio = bahasa Latin untuk “peringatan]