Peraturan nomor satu: Isi dokumen yang kalian lihat selama bekerja tidak boleh memengaruhi sikap dan tindak tanduk kalian.
Kupikir bos kami sengaja meletakkan kalimat itu sebagai peraturan teratas, karena jelas inilah peraturan yang tersulit dipatuhi sampai paripurna. Nafsu iblis selalu menggerayangi otak dan mata kami ketika memegang helai demi helai kertas, sebelum maupun sesudah kami menggandakannya.
Di atas pandang remeh masyarakat terhadap profesi tukang fotokopi, kurasa kami boleh jemawa. Kamilah saksi berbagai jenis torehan di atas kertas, mulai dari jejak terpentin berlepotan hingga pelitur tinta mesin cetak berbarisan; yang melancarkan pekerjaan orang banyak, membukakan pintu-pintu tertutup, dan menguak berbagai misteri. Ada dokumen yang cuma sesederhana soal les anak-anak sekolah dasar dan ditulis tangan, ada yang sepelik pasal-pasal polis asuransi, bahkan ada yang bernada mengancam menyerupai surat kaleng. Aku pernah menemukan material bocoran soal ujian akhir sekolah (yang kemudian dikonfirmasi sebagai bocoran yang diburu pemerintah). Teman seperjuanganku yang dulu, Dirga, malah pernah disiksa permintaan mahasiswa untuk dibuatkan salinan buku teks kedokteran yang tebalnya minta ampun. Kembali lagi ke pasal tadi, kami tidak boleh mengeluh, apalagi menolak dokumen yang disodorkan pelanggan, seajaib apa pun itu. Semua tetap harus digandakan dengan baik, karena pelanggan adalah raja yang titahnya tak terbantahkan. Hanya terkalahkan oleh titah bos kami.
Tahun pertama bekerja di gerai Frontliner Photocopier, aku masih menganggap remeh peraturan nomor satu itu. Kupikir, cih, kertas? Takkan sanggup lembar bubur kulit kayu pohon menggoda iman manusia hingga sedahsyat itu. Toh, memang dokumen yang lewat di depanku tidak pernah aneh: Selembar surat cinta receh, artikel majalah, hasil cetakan skripsi mahasiswa tingkat akhir, dan setumpuk kertas-tetek-bengek-yang-aku-pun-kadang-tidak-paham-apa-isinya. Entah memang anak baru tidak boleh menangani dokumen-dokumen aneh, ataukah nasibku yang memang bagus.
Semua berubah di awal tahun keduaku, ketika pelanggan misterius itu datang.
@@@@@@
Aku dan Devon melihatnya pertama kali di suatu Rabu siang. Pintu kaca terayun, diikuti masuknya seorang wanita bertubuh kecil. Tingginya kutaksir tidak lebih dari seratus lima puluh sentimeter, bobot tidak lebih dari empat puluh lima kilogram. Rambut hitamnya dicepol sebagian, sisanya terurai mirip misai panjang yang melewati leher kaosnya. Ia menyandang sebuah ransel merah, terbuka sebagian. Satu tangannya membawa map, dan satunya menjepit sepuntung rokok di antara telunjuk dan jari tengah.
“Frontliner Photocopier, ada yang bisa kami bantu, Mbak?” sapa Devon.
“Mau fotokopi ini, Mas. Sekali aja.”
“Oke. Mbak mau ini dijilid?”
“Belum, Mas. Ini sepuluh lembar dulu, besok masih ada lagi.”
Devon menyambut dokumen, sementara wanita itu menyesapkan rokok tepat di atas anting perak yang menembus garis tengah bibir bawahnya yang merah. Mengintip pula gigi-gigi depannya yang kecil-kecil, putih gading, dan rata.
“Masih banyak, Mas. Nanti juga bakal dijilid, kok.”
Devon memeriksa dokumen yang diserahkan kepadanya. Tepat sepuluh lembar, tertata dalam kempitan sebuah klip segitiga, tepi bertemu tepi dengan rapi. Beberapa ujung kertas sudah berumbai, mungkin pernah dibasahi percik kopi atau tetes hujan. Ia terdiam.
Sesudahnya, mesin fotokopi pun masih diam. Aku yang sedang mengerjakan penjilidan, berjingkat mengintip ada apa gerangan.
“Devon, kenapa enggak dikerjakan? Dokumen apa sih?”
Ia tak menjawab.
“Von! Aneh banget sih lu!?”
Berarti aku harus melihat dokumen itu dari dekat.
Kuambil paksa tumpukan kertas itu dari tangan Devon. Tidak ada sampul depan, atau apa pun yang sekiranya bisa jadi petunjuk garis besar. Terpaksa kubaca sebaris demi sebaris. Lembar pertama, kedua, dan seterusnya.
Mungkin aku sama tak pahamnya dengan Devon. Jadi kuterapkan saja metode eksklusi, sebelum aku harus mendedah sampai lembar kesepuluh.
Ini … jelas bukan buku teks yang tebalnya mencekik. Bukan soal ujian anak sekolah. Bukan surat receh biasa. Bukan naskah drama ataupun….
Hei. Apakah ini transkrip rekaman pembicaraan orang?
Kuamati saksama. Lembar keempat memuat nama Ibu Presiden. Tepat di bawahnya, tercantum nama ketua Asosiasi Penyelarasan Suhu Politik (ya, negara kami punya asosiasi sesinting itu) dan nama Menteri Riset dan Implementasi Sains. Lembar keenam, ada nama Raven Bucklow, seorang ahli bioetika yang baru dibunuh minggu lalu. Dia terkenal gemar mengkritik kebijakan riset dan implementasi sains yang dikeluarkan pemerintah.
Desir ganjil menjalari jantungku, lalu merambat ke tengkuk.
“Gus, Gus … kamu saja yang fotokopi ya, nanti kasihan mbak-nya kelamaan nunggu,” ucap Devon sambil berlalu, memeragakan gestur ingin buang air kecil.
Devon memang jagonya meloloskan diri dari masalah. Sebuah talenta yang sejak dulu aku ingin miliki, tetapi tak pernah kesampaian.
Dengan berat hati, kuraih panel salah satu mesin fotokopi, sambil berharap bahwa dokumen itu bukan apa-apa. Tombol-tombol angka untuk menentukan jumlah salinan sudah memanggil-manggil, saat kebimbanganku mencapai puncak.
Kuberanikan diri menekan tombol angka 2.
Lembar demi lembar berlalu. Semakin kubaca, isi transkrip itu kian terang. Semilir gerayangan di jantung pun kini berubah jadi gelegak.
Kepingan informasi demi informasi menyatu jadi sebentuk logika bagiku: Dokumen ini bicara tentang rencana pembunuhan.
@@@@@
“Apa? Heh, Gus, kamu kebanyakan baca Sherlock Holmes,” cerocos Devon usai menelan seteguk jus leci. Air mukanya kaget, lalu mencibir.
“Ini tidak ada hubungannya, Von.”
“Bagus, kamu itu gampang banget curigaan. Nama Bu Presiden dan nama ahli bioetika itu … siapa? Raven? Ha, iya, Raven Bucklow. Bisa saja kan, nama mereka berdua muncul di mana-mana? Seperti namamu, Bagus Prihardana, nongol di berita bersamaan dengan Devon Kampaleia. Kamu terlalu memaksakan kebetulan, Gus.”
Aku mengaduk kopi tubruk, tak tentu arah. Mataku tertuju pada cangkir kaca bening yang ternoda bubuk-bubuk hitam itu, namun pikiranku pada salinan dokumen yang kusembunyikan. Kuputuskan untuk tidak memberitahu Devon. Kami pasti bakal salah paham satu sama lain.
“Kita lihat saja deh, Gus. Asal dia bayarnya enggak kurang, aku sih fine-fine aja.”
“Serius gapapa lu, Von? Kalau itu betul rencana pembunuhan dan keluarga lu dibawa-bawa?”
“Tuh, kan? Kepalamu itu harus dibenamkan ke air dingin Sungai Thames, Gus! Mana mungkin keluargaku kena ancaman? Mereka sudah meninggal semua.”
Iya juga, ya?
“Kamu jangan aneh-aneh, Bagus. Jangan lapor Pak Bos, jangan lapor polisi, jangan sok-sok tiup peluit. Ingat kamu bukan siapa-siapa selain tukang fotokopi di Frontliner.”
Aku tak menjawab. Teguk berikutku begitu pahit dan kesat oleh sengat ampas kopi. Kupaksakan menelan semuanya, demi melancarkan keluarnya ucapan Devon barusan lewat telinga kiriku.
“Gus. Aku tahu kamu punya salinan ekstra dari dokumen itu,” sambar Devon. Ucapannya masih jelas meskipun ia sedang mengunyah gandasturi.
“Buktinya mana? Jangan-jangan lu….”
“Aku lihat kamu fotokopinya dua kali, Gus. Aku bahkan tahu kamu taruhnya di mana.”
Oke, sial. Satu talenta lagi dari Devon yang juga membuatku dengki: Lirikannya maut. Sekali lirik, dua tiga baris tulisan langsung terekam di otaknya. Cocok buat jadi agen rahasia.
“Gus, udah Gus, ngomong aja sama aku. Aku enggak cerita ke Pak Bos,” sikutnya. Bala-bala yang kupegang nyaris terlontar ke tanah. Ia malah pasang tampang tak berdosa, sambil menyilangkan jari seperti Spock.
Lebih baik kuberitahu Devon, atau kudiamkan saja?
@@@@
Lima hari berturut, wanita itu selalu muncul, selalu hanya membawa sepuluh lembar dokumen. Jam kedatangannya acak. Kadang pagi kadang malam.
Satu yang membingungkan: Tampilan fisiknya selalu berubah-ubah. Hari kedua ia tampil necis seperti wanita kantoran. Keesokannya jadi mirip anak band, lalu disusul berdandan anggun seperti mau ke undangan. Casing boleh berbeda-beda, namun sikapnya tetap sama. Dingin, menjaga jarak, tidak bisa diajak ngobrol. Kala menunggu, ia lebih memilih merapat ke pintu kaca, menyesap sepuntung rokok pendek, dan menguarkan asap tebal ke langit. Denganku, ia cuma memperhatikan urusan memberikan dokumen, kemudian menerima satu rangkap salinan dan dokumen asli, dan membayar. Sementara aku, hanya memperhatikan soal salinan rangkap kedua untuk hari kedua, ketiga, dan keempat. Semuanya kubaca dengan saksama, sebelum kujejalkan ke dalam laci.
Hari kelima, ia datang dengan penampilan sama dengan hari pertama. Saat itu gerai fotokopi sedang sepi. Di luar dugaan, Devon menawarkan diri untuk membuatkan salinan. Dia sudah tahu, dua rangkap.
Kuberanikan diri bertanya lebih banyak. “Mbak, sendirian aja?”
Ia terkaget. Puntung rokok yang dipegangnya nyaris jatuh. Sejurus, ia mengangguk.
“Mbak, sorry nanya. Saya lihat Mbak bawa dokumennya sedikit, dicicil gitu. Padahal itu kayanya nyambung ya Mbak? Kenapa Mbak enggak bawa semua dokumennya sekaligus aja?”
Tatapannya masih kosong ke arah kemacetan. Sadar aku tengah menunggu jawabannya, ia mendelik, tanpa jawaban. Aku tak bisa membaca sorot matanya yang cuma sekejap bertemu pandang denganku; apakah itu takut atau marah.
“Mbak….”
“Jangan, Mas.”
Mungkin aku yang sudah kelewatan, tapi aku tak tahan lagi.
“Hati-hati, Mbak. Bahaya.”
Tiba-tiba Devon keluar dari ruang fotokopi, membawa dua gepok kertas, “Sepuluh lembar, seribu lima ratus.”
Wanita itu menyelonong, seolah aku tak ada di situ. Ia langsung menarik dua buah uang logam dari dalam dompet kecil, menyerahkannya kepada Devon tanpa mengucap terima kasih. Ia buru-buru mengayun pintu keluar, sampai lupa menutupnya kembali.
Apakah tadi aku terlalu berani menghunuskan pedang?
Setelah menunggu jarak aman dalam diam, Devon menyemprotku.
“Bagus! Kamu bikin dia takut! Gila kamu!”
“Gila apanya, Von?”
“Ya gila, lah! Oh iya, kamu ‘kan belum tahu apa isi salinan tadi.”
Aku bergeming. Aku belum siap menghadapi kenyataan.
“Tenang, Gus. Dokumen hari ini belum yang terakhir. Masih ada lagi, tapi kurasa memang sudah mau tamat.”
Memangnya ini film dokumenter?
“Raven Bucklow dibunuh dengan racun saat dalam karantina ulang alik. Pelakunya entah siapa, tapi dia disuruh oleh seseorang yang punya kuasa. Cuma….”
Lanjut, Devon. Aku bahkan tak bisa menggerakkan mulut!
“Belum dijelaskan racunnya apa, dan siapa yang menyuruh kroco itu melakukannya.”
Kami bersandar ke mesin fotokopi yang berhadapan, tanpa bisa berkata-kata. Dalam diam, kami bersepakat untuk menunggu fragmen terakhir.
Semoga besok ia datang tepat waktu.
@@@
Keesokan paginya, aku bangun oleh suara gelas pecah. Tanganku tak sengaja menyenggolnya ketika hendak mematikan alarm di ponsel.
Firasat buruk itu terbukti. Masih berbaring di ranjang, kubuka Twitter, dan muncullah berita sadis itu di linimasa hingga berkali-kali: Seorang wanita ditemukan tewas dengan luka tembak enam kali di dada dan perut, dengan senapan laras panjang tersodok dari kemaluan hingga menembus rongga perutnya, dan usus yang hancur terburai. Berita lain memperlihatkan foto wanita itu semasa hidup.
Seolah organ-organ dalamku bergelinjang, membuatku mual.
Wanita itu, yang lima hari berturut-turut datang ke gerai fotokopiku, ditemukan meninggal. Dibunuh. Dengan sadis.
Aku harus mengecek keberadaan dokumen itu! Sekarang!
@@
Devon sudah lebih dahulu ada di Frontliner. Ada satu mobil polisi bersamanya. Melihat itu, degup jantungku makin tak keruan.
“Bagus! Bagus! Sini!”
Aku mendekat, dengan napas tersengal.
“Gus, dokumen yang kamu simpan kemarin. Hilang.”
“Apa?”
“Iya, semalam gerai kita dirampok. Cuma aneh banget … enggak ada apa pun yang hilang. Cuma dokumen itu dan satu rim kertas. Duit masih utuh dalam brankas. Alat tulis, komputer, mesin jilid, paper shredder, semua masih ada,” cerocosnya dengan suara bergetar.
Jadi, dokumen salinan rahasiaku turut hilang.
Seketika, aku merasa kehilangan. Seperti sepatu bayi yang tak akan pernah terpakai. Seperti mobil pengantin yang tak akan pernah dinaiki. Seperti toga sarjana yang tak akan pernah kukenakan.
“Sudahlah, Gus.”
Aku menolak gamitan tangannya.
“Gus. Pengetahuan yang terlalu banyak bisa membunuhmu. Sudahlah, Gus.”
Aku mengatupkan rahang, berharap suaranya tak bisa masuk. Baik telinga kiri maupun kanan.
Cukup!
@
Dua hari berselang. Kami kembali ke rutinitas menjemukan, menghadapi kertas-kertas yang bukan milik kami.
Lima puluh lembar itu masih berkelebatan di kepalaku. Dokumen yang tak pernah sampai di gerai fotokopi kami hingga tuntas. Salinan dokumen yang tak pernah terlihat lagi. Hanya ingatankulah yang tersisa. Aku dan Devon pun sudah berjanji tak akan membahas masalah ini lagi.
Kertas itu bukan milikmu, Bagus. Itu bukan kehilangan, namanya.
Orang-orang akan menuduh aku mengarang cerita dan menyebarkan fitnah, kalau aku buka mulut tentang ingatanku. Aku akan menyeret diriku ke lembah peradilan, menunggu tanpa akhir ketika diperiksa polisi, dan jika terpeleset, aku bisa dipenjara, atau menjadi paria selamanya.
Karena ingatan bukanlah barang bukti yang otentik, kubur saja, Bagus. Lihat ke depan.
Aku mengiyakan nuraniku. Mungkin memang harus beginilah adanya.
Aku kembali memfotokopi, menjilid, dan menghitung uang kembalian; sambil berharap ada dokumen ganjil lagi.
(Jakarta, 12/12/2016. 1876 kata. Pemenang II TantanganNulis bertema #BlueValley dari Jia Effendie dan Falcon Fiksi, 29 November s/d 14 Desember 2016. Pernah dimuat di FB Notes dan di Medium-ku sebagai Medium Story.)
([la] evanescencia = istilah Spanyol untuk sesuatu yang menghilang dengan sangat cepat.)
One thought on “Evanescencia”